Damai Aqsha – Setelah menghancurkan 27 dari 38 rumah sakit di Gaza, membunuh setidaknya 1.000 tenaga medisnya, dalam gencatan senjata pun Israel masih menahan ratusan lainnya. Dilaporkan, sekitar 162 tenaga medis Gaza, termasuk lebih dari 20 dokter, diyakini masih ditahan dalam penjara Israel. Namun, bukan sekadar ditahan, para tenaga medis ini disiksa, kalau bisa dihancurkan tangannya sehingga kemampuannya tak lagi tersisa. Sampai di sini, masihkah tersisa harapan jika Israel punya komitmen dengan kemanusiaan?
Healthcare Workers Watch (HWW), sebuah organisasi non-pemerintah medis di Palestina, melaporkan bahwa sebanyak 162 tenaga medis masih berada dalam tahanan Israel, termasuk beberapa dokter senior di Gaza. Selain itu, 24 lainnya dilaporkan hilang setelah dibawa dari rumah sakit selama berlangsungnya konflik.
Menurut Direktur HWW, Muath Alser, penahanan tenaga kesehatan oleh Israel memiliki dampak yang signifikan terhadap layanan medis bagi warga Palestina. Hal ini mengakibatkan penderitaan yang luas, di mana mereka tak lagi mampu menangani pasien yang terluka dan sakit, padahal bisa jadi banyak kematian yang sebenarnya bisa dicegah, dan memusnahkan hampir seluruh spesialisasi medis yang ada.
Pun, ketika para tenaga medis ini dapat kembali bertugas, sebagian mereka sudah kehilangan keterampilan medis yang mereka peroleh dalam pengalman selama puluhan tahun. Pada akhirnya, menghancurkan sistem medis yang ada di Palestina.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengonfirmasi, sejak pecahnya perang, militer Israel telah menahan 297 tenaga medis Gaza. Namun, WHO tidak memiliki data terbaru mengenai jumlah yang telah dibebaskan maupun yang masih berada dalam tahanan. Sementara itu, HWW menyatakan bahwa berdasarkan verifikasi mereka, jumlah tenaga medis yang ditahan lebih tinggi, yakni mencapai 339 orang.
WHO juga menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi dan keselamatan tenaga kesehatan Palestina dalam tahanan Israel. Hal ini menyusul laporan, para tahanan di fasilitas penjara Israel kerap mengalami kekerasan dan perlakuan buruk.
Seorang pengacara yang mewakili Dr. Hussam Abu Safiya, direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, yang penahanannya oleh pasukan Israel pada Desember lalu memicu kecaman global, baru-baru ini mengungkapkan, ia akhirnya diperbolehkan mengunjungi kliennya di Penjara Ofer, Ramallah. Dalam pertemuan tersebut, Abu Safiya menyampaikan, dirinya mengalami penyiksaan, pemukulan, serta dilarang mendapatkan perawatan medis.
The Guardian dan The Arab Reporter for Investigative Journalism (ARIJ) juga menerima kesaksian dari tujuh dokter senior yang mengaku diculik dari rumah sakit, ambulans, dan pos pemeriksaan di Gaza. Mereka kemudian dipindahkan secara ilegal ke penjara Israel dan mengalami penyiksaan, pemukulan, kelaparan, serta perlakuan tidak manusiawi selama berbulan-bulan sebelum akhirnya dibebaskan tanpa dakwaan.
Salah satunya, Dr. Mohammed Abu Selmia, direktur Rumah Sakit al-Shifa. Ia sempat ditahan selama tujuh bulan sebelum akhirnya dibebaskan tanpa tuduhan. ia mengungkapkan apa yang ia alami selama dalam tahanan jauh lebih buruk daripada yang bisa ia ceritakan. Bahkan, dokter senior terkemuka di Gaza—Dr. Iyad al-Rantisi, seorang spesialis kandungan dan ginekologi di Rumah Sakit Kamal Adwan, serta Dr. Adnan al-Bursh, kepala departemen ortopedi di Rumah Sakit al-Shifa—diketahui meninggal saat berada dalam tahanan.
Gambaran Ngerinya Perlakuan Tentara Israel Pada Dokter
Berikut adalah kesaksian dari salah satu dari tujuh dokter penyintas yang memberikan kesaksian pada The Guardian dan The Arab Reporter for investigative Journalism (ARIJ). Ialah Dr. Issam Abu Ajwa, seorang Ahli bedah konsultan senior. Ia mengaku tangannya diborgol selama 24 jam sehari dan interogator menggunakan papan dengan rantai untuk menahan tangannya selama berjam-jam; memastikan agar tangannya tak lagi berfungsi.
Dr. Issam Abu Ajwa ditangkap saat ia sedang melakukan operasi darurat pada seorang pasien dengan luka parah di bagian perut di Rumah Sakit Arab al-Ahli, Gaza Tengah. Tanpa peringatan, tentara Israel tiba danmenangkapnya.
“Saya bertanya pada mereka apa yang mereka lakukan saat memasuki ruang operasi,” kenangnya. “Salah satu tentara menunjuk ke arah saya dan bertanya: ‘Apakah Anda Dr. Issam Abu Ajwa?’ Saya menjawab, ‘Ya, itu saya.’ Saat itulah pemukulan dimulai.”
Masih dengan pakaian bedahnya, dokter berusia 63 tahun itu mengungkapkan, ia diseret keluar dari ruang operasi, kemudian diborgol, ditutup matanya, dan ditelanjangi. Kemudian ia dimasukkan ke dalam truk militer bersama dengan dokter, perawat, serta tenaga medis lainnya, sebelum diangkut keluar dari rumah sakit. Kurang dari 24 jam kemudian, ia sudah berada di dalam fasilitas penahanan di Israel, memulai pengalaman yang ia sebut sebagai bulan-bulan penuh kekerasan dan perlakuan kasar yang terus-menerus.
Selama interogasi, Abu Ajwa mengaku mengalami penyiksaan dan pemukulan. “Mereka menjatuhkan saya ke tanah. Salah satu dari mereka memukul kepala saya, sementara yang lain membuka telinga saya dan menuangkan air ke dalamnya,” ujarnya.
Dalam kamar mandi di dalam ruang interogasi, para penjaga sering menyiksa tahanan dengan cara yang mengerikan. “Mereka mengambil sikat toilet dan berkata, ‘Hari ini kami akan menyikat gigimu,’” katanya. Ia dalam keadaan terikat dan ditutup matanya, sementara tiga atau empat orang memegang kepalanya erat-erat dan mulai menggosoknya dengan kasar.
Akibatnya, beberapa giginya patah. “Mereka sama sekali tidak memiliki rasa kemanusiaan,” tuturnya.
Beberapa tahanan, termasuk Abu Ajwa, meyakini bahwa mereka menjadi sasaran penyiksaan yang lebih brutal karena profesi mereka sebagai dokter.
“Salah satu interogator senior memberi instruksi khusus agar saya, sebagai ahli bedah konsultan senior, dibuat kehilangan fungsi tangan saya dan tidak bisa lagi melakukan operasi,” ungkapnya.
Ia menceritakan, selama 24 jam sehari, tangannya terus-menerus diborgol, dan interogator menggunakan papan dengan rantai untuk menahan tangannya dalam posisi tertentu selama berjam-jam. “Mereka mengatakan bahwa tujuan mereka adalah memastikan saya tidak akan pernah bisa kembali bekerja.”
Tak satu pun dari dokter senior yang diwawancarai menerima penjelasan mengenai alasan mereka ditahan. Setelah berbulan-bulan dipenjara, mereka akhirnya dibebaskan tanpa dikenakan dakwaan apa pun.
Pelanggaran Terhadap Hukum Internasional
Muath Alser menegaskan, penahanan massal terhadap dokter, perawat, paramedis, dan tenaga kesehatan lainnya dari Gaza hanya memperpanjang bukti pelanggaran hukum internasional. Belum lagi, tindakan ini semakin memperburuk penderitaan warga sipil karena menghalangi mereka dari akses terhadap tenaga medis yang sangat dibutuhkan.
Dalam pernyataannya kepada The Guardian, Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengecam penahanan tenaga kesehatan oleh Israel yang masih berlangsung dan menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kondisi mereka.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB (UN OHCHR) juga mendesak Israel untuk segera membebaskan tenaga medis yang ditahan secara sewenang-wenang serta menghentikan semua tindakan yang tergolong sebagai penghilangan paksa, penyiksaan, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
Sebelumnya, UN OHCHR menegaskan, penahanan besar-besaran terhadap petugas kesehatan oleh militer Israel secara langsung berkontribusi pada kehancuran sistem layanan medis di Gaza. Ajith Sunghay, kepala kantor UN OHCHR untuk wilayah Palestina yang diduduki, menekankan bahwa individu yang bertanggung jawab atas pelanggaran hukum internasional harus dimintai pertanggungjawaban.
Menurut Konvensi Jenewa, seperangkat hukum internasional yang mengatur perilaku dalam konflik bersenjata, tenaga medis harus dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran serangan. Mereka juga harus diizinkan untuk terus memberikan layanan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan.
Tedros menegaskan bahwa tenaga kesehatan, fasilitas tempat mereka bekerja, serta pasien yang mereka rawat tidak boleh menjadi target dalam konflik. Justru, berdasarkan hukum humaniter internasional, mereka harus dilindungi secara aktif.
Di sisi lain, Israel sebelumnya telah membela operasi militernya terhadap sistem layanan kesehatan di Gaza dengan alasan rumah sakit digunakan oleh Hamas sebagai pusat komando militer dan bahwa tenaga medis yang ditahan dicurigai memiliki keterlibatan. Berdasarkan hukum internasional, fasilitas kesehatan dapat kehilangan perlindungan hukumnya dan menjadi target militer apabila terbukti digunakan untuk aktivitas yang membahayakan pihak lawan.