Damai Aqsha – Sore itu, seorang anak kecil di Gaza terlihat duduk bersimpuh di dekat sebuah tenda pengungsian. Di pangkuannya kacang kalengan yang sudah masak tersaji sekadarnya— bisa jadi, itulah makanan pertama dan terakhirnya di hari itu. Di sisinya, dua ekor kucing ikut makan dengan nyaman dari piring tempat anak itu makan. Siapa sangka, jika seorang anak kecil di Gaza lebih memahami kemuliaan daripada banyak orang dewasa di dunia ini, yang kian hari kian egosentris.
Yang jelas, adegan tersebut bukan rekayasa sinetron. Itu potongan realitas dari sebuah tempat yang tak banyak diberi ruang di hati dunia: Gaza. Di wilayah yang dikepung dari segala arah, di mana makanan sama langkanya dengan sinyal internet di pegunungan, anak-anak masih tahu arti bermurah hati. Mereka tak pernah membaca buku psikologi modern tentang empati atau teori Jean Piaget soal perkembangan moral, tapi mereka mampu menghidupkannya.
Sebagaimana kita dapat temukan dari berbagai sumber, Gaza hari ini sedang mengalami kelaparan akut. Menurut laporan dari Democracy Now! (10 April 2025), kelaparan meluas secara drastis setelah lebih dari enam minggu Israel menutup semua akses makanan ke wilayah tersebut. Sementara Anadolu Agency (6 April 2025) melaporkan bahwa otoritas Palestina menyebut lebih dari dua juta warga Gaza berada dalam ancaman kematian perlahan akibat kelaparan yang disengaja.
Tragisnya, larangan itu bukan kecelakaan. Ini adalah kebijakan resmi. Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, bahkan menyatakan secara terbuka:
“Bahkan sebutir gandum pun tidak akan masuk ke Gaza”
(Sumber: Anadolu Agency – 4 Maret 2025)
Alasannya? Bukan lagi karena karena warganya yang disandera, tapi dengna congkaknya ia menyatakan “dalam rangka menghapus teroris” —yang dalam praktiknya berarti anak-anak kecil, perempuan tua, bayi yang baru bisa tertawa, semua dianggap musuh. Gaza bukan hanya diblokade, saudara kita sengaja ditelantarkan hingga kelaparan dijadikan senjata. Apakah kita mau ikut menelantarkan mereka dan sibuk dengan urusan pribadi saja?
Namun, di tengah penderitaan ini, anak-anak Palestina menolak untuk membenci. Mereka bahkan mampu tetap berbagi dengan kucing lapar yang mengusik makanan terakhir mereka. Ini bukan sekadar kemurahan hati. Ini adalah bentuk kemuliaan jiwa yang sulit dipahami oleh dunia yang sudah tenggelam terlalu dalam pada pusaran egosentrisme.
Kalau kita lapar, wajar rasanya mempertahankan makanan itu untuk diri sendiri. Itu reaksi paling manusiawi. Namun, ketika dalam lapar seseorang masih memilih untuk berbagi, itulah tanda bahwa ia telah melewati level kemanusiaan biasa. Ia sedang hidup dalam nilai-nilai langit yang menetes di bumi.
Ketika Kebaikan Tidak Mengenal Kekurangan
Dalam Islam, kemurahan hati yang mendahulukan orang lain disebut dengan itsar. Allah Swt. berfirman:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (QS. Al-Hasyr: 9)
Sikap ini tak mungkin terpicu oleh aspek eksternal, tapi karakter karena bagaimanapun ia harus bertarung dengan panggilan kebutuhan penunjang kehidupannya. Ia lahir dari hati yang terlatih dalam keikhlasan, empati, dan iman. Seperti para sahabat Nabi ﷺ, yang rela memberikan satu-satunya makanan buka puasa mereka kepada tamu, lalu tidur dalam keadaan lapar. Ini bukan dongeng. Ini warisan.
Kenyataanya, inilah yang diajarkan dalam Islam agar manusia mampu menggapai sisi dirinya yang lebih mulia dari malaikat. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari No. 13, Muslim No. 45)
Secara psikologis, sikap altruistik seperti ini berkorelasi dengan tingkat empati yang tinggi dan ketahanan emosional yang kuat. Menurut Journal of Personality and Social Psychology (2007), altruisme pada anak bisa tumbuh dari kombinasi pola asuh, keteladanan, dan pengalaman traumatik yang diolah menjadi empati, bukan dendam.
Lalu, bagaimana bisa sifat semulia itu bisa tumbuh subur pada jiwa-jiwa masyarakat Gaza? Jawabannya: pendidikan di rumah, keteladanan di tengah perang, dan spiritualitas yang ditempa dalam kesulitan paling hebat. Anak-anak mereka mungkin tak mendapatkan mainan yang mahal, akses tontonan tanpa batas, tapi mereka dibesarkan dengan tuntunan Al-Qur’an, senantiasa berprasangka baik pada Allah Swt., dan tertanam dalam jiwanya bahwa kehidupan ini adalah ladang tempat menanam.
Sementara itu, dunia lain sibuk mengejar segalanya untuk dirinya sendiri. Orang berlomba menguasai pasar, memperpanjang seri pada catatan tabungan di bank, bahkan saling injak demi status sosial. Tak sedikit yang merebut, menipu, atau membungkam orang lain, hanya demi mempertahankan gengsi. Ini bukan dunia yang kekurangan makanan—ini dunia yang kekurangan hati.
Kita bisa lihat dalam laporan-laporan ekonomi: kekayaan dunia saat ini terpusat di 1% kelompok elit. Bahkan menurut Oxfam (2024), orang terkaya di dunia menambah $500 miliar selama krisis global, sementara jutaan orang lain kelaparan. Ini bukan sekadar ketimpangan ekonomi. Ini adalah ketimpangan hati nurani.
Anak Gaza yang berbagi kacang kalangen pada kucing tidak akan viral di TikTok seperti selebgram mukbang, namun ia sudah menjadi legenda kemanusiaan dalam buku catatan malaikat. Tindakannya mungkin kecil, tapi gaung moralnya lebih nyaring daripada orasi para pemimpin dunia yang hanya sibuk berpolitik demi memenuhi perutnya yang tak kunjung kenyang.
Dari anak itu, kita belajar bahwa kemuliaan bukan ditentukan dari berapa banyak yang kita miliki, tapi berapa banyak yang kita rela berikan, bahkan saat kita tak punya banyak.
Gaza dan Cermin Kemanusiaan Kita
Hari ini, Gaza adalah cermin yang jujur. Ia memantulkan siapa yang benar-benar manusia, dan siapa yang hanya tampak seperti manusia. Kita yang hidup berkecukupan, kadang sulit berbagi bahkan kepada keluarga sendiri. Kita yang punya stok makanan di lemari, kadang enggan memberi ke tukang sampah yang lewat. Namun, di Gaza, di balik reruntuhan dan debu, lahir manusia-manusia kecil yang hatinya lebih luas dari langit.
Apa yang dilakukan anak Palestina itu adalah perlawanan senyap terhadap dunia yang sedang lupa cara mencintai. Ia menampar wajah dunia yang rakus. Ia berdiri sebagai guru dari generasi yang kehilangan arah. Ia adalah simbol dari kebaikan yang tidak tunduk pada kemiskinan.
Maka kalau hari ini kita merasa diri kita manusia, mari buktikan. Bukan dengan emosi, tapi aksi. Do’akan mereka, bantu mereka, ceritakan kisah mereka. Lebih dari itu—tirulah semangat memberi mereka. Karena sesungguhnya, dunia ini tidak butuh orang hebat. Dunia butuh orang yang hatinya hidup, berupaya menjadi versi paling mulia dari manusia.