Damai Aqsha – Aku menyimpannya hanya untukmu, satu shekel… Bukankah kau minta keripik, ya Aboud? Aku sudah membelinya… Demi Allah, aku membawakannya. Demi Allah, jangan tinggalkan aku sendirian…
Namun, tak ada balas ucap, bahkan bunyi dari tubuh mungil itu. Tak ada gerak, tak ada lirih, tak ada genggaman tangan kecil seperti biasanya. Hanya udara yang hening di ruang jenazah dan seorang ayah yang bersimpuh pada anaknya yang telah wafat. Kali itu, maut bahkan tak memberi waktu pada janji kecil ditepati, bahkan sekada keripik dan permen, tapi tak sempat dinikmati oleh Aboud, bocah lelaki berusia sekitar empat tahun yang sekarang dibalut kafan putih.
Aboud tidak meminta, mainan mahal atau sekolah mewah. Permintaannya sederhana, sekadar jajanan. Bahkan hal sekecil itu pun, penjajahan tak rela membiarkannya, sebelum sang ayah sempat pulang dari warung. Sebelum janji kecil itu berubah menjadi tawa. Kini, kata-kata yang tersisa hanyalah penyesalan: “Bisikkan padaku, walau satu kata…”
Dalam satu siang, dunia bisa terbalik di Gaza. Dari suara tawa anak-anak di kamp pengungsian, menjadi sunyi yang hanya diisi oleh tangis orang tua. Setidaknya 14.500 anak-anak Palestina telah gugur sejak agresi besar-besaran pada Oktober 2023 hingga awal 2025 (data: Euro-Med Human Rights Monitor, Jan 2025). Angka itu bukan statistik dingin. Itu adalah suara yang tak sempat menjawab lagi.
Ayah Aboud bukan satu-satunya yang bicara pada anak yang diam. Di Khan Younis, di Beit Lahia, di Rafah—ribuan orang tua kehilangan anak, lalu bicara sendirian pada jasad yang dibungkus kain putih. Bicara pada tanah, pada Rabb-Nya. Ya, saudara kita ini, yakin kalau anak-anaknya akan menunggu di surga, akan menjadi burung-burung yang terbang di taman Jannah, tapi tetap saja, ayah-ayah di Gaza juga sama seperti kita, yang memiliki rasa.
Tangisan orang beriman bukanlah tangisan karena rasa kecewa, melainkan rasa kasih sayang pada makhluk Allah Swt. yang amat lembut dan penuh kasih. Ditambah, kemungkinan rasa bersalah. Dalam hal rasa bersalah, Psikolog trauma menyebutnya “moral injury”—cedera batin bukan karena tubuh luka, tapi karena merasa gagal melindungi yang terkasih (Litz et al., 2009). Ayah Aboud tidak bisa menyelamatkan anaknya. Ia merasa bersalah. Merasa tidak cukup cepat. Tidak cukup kuat. Dan perasaan itu membunuh jiwa perlahan, lebih sunyi dari bom.
“Mereka bilang akan ada gencatan senjata,” kata sang ayah. “Mereka bilang hanya 24 jam… Maka aku izinkan Aboud main di luar sedikit saja…” Tapi tidak ada jaminan waktu di Gaza. Tak ada waktu untuk rencana kecil. Tak ada ruang aman, bahkan rumah sakit pun dihantam, bahkan sekolah UNRWA jadi liang.
Ketika kamera-kamera menyorot tubuh-tubuh mungil itu, dunia sering hanya menangis sebentar—lalu lanjut menonton konten lain. Tapi orang tua seperti ayah Aboud, tidak bisa ‘swipe up’. Luka mereka tetap di sana, hidup bersama detak jantung yang sepi. Setiap malam, ia mengulang suara anaknya dalam kepala, agar tidak lupa. Agar tidak hilang.
Sebagian mungkin akan bilang, “Setidaknya mereka syahid. Allah pasti menjaga.” Ya, benar. Tapi bahkan Rasulullah ﷺ pun menangis saat Ibrahim, putranya, wafat. Beliau bersabda:
تَدْمَعُ الْعَيْنُ وَيَحْزَنُ الْقَلْبُ وَلَا نَقُولُ إِلَّا مَا يُرْضِي رَبَّنَا
“Air mata menetes, hati berduka, namun kami tidak berkata kecuali yang diridhai oleh Rabb kami.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya dalam pangkuan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkannya dan beliaupun Shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis. Abdurrahman bin `Auf bertanya : “wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyaahah)?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “wahai Ibnu `Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat: yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah. Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang pasti (terjadi) dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita (pastilah) akan disusul oleh kita, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang…, hati bersedih…, kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ayah Aboud tahu surga itu nyata. Tapi ia juga tahu sunyi itu nyata. Ketika tubuh anaknya sudah dikubur, rumah jadi lebih senyap. Sepatu kecil yang tergantung, baju tidur yang belum dicuci, dan shekel kecil yang kini ia genggam tanpa tahu akan digunakan untuk apa.
Dalam napas terakhirnya, Aboud tak sempat bicara. Tapi sebelumnya ia sempat minta satu hal: “Ayah, nanti beli permen, ya.” Sebuah permintaan yang sederhana—yang bagi anak-anak lain di dunia, adalah hal biasa. Tapi di Gaza, bahkan permintaan semudah itu pun bisa jadi wasiat terakhir.
Menunggu di Surga
Sungguh, betapa banyak ayah di dunia yang masih bisa melihat anak-anaknya tertawa. Namun, tak semua dari mereka mengerti bahwa waktu yang mereka punya adalah karunia. Betapa banyak yang menolak bermain lima menit dengan anak, menunda pelukan, menolak menjawab tanya polos karena “lagi sibuk.” Mereka lupa, bisa mencintai dengan utuh adalah kemewahan yang tak semua orang miliki.
Al-Qur’an memberi peringatan tajam pada para ayah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim: 6)
Menjaga anak bukan hanya memberi makan, namun juga pendidikan, yang di dalamnya, mengandung kasih sayang. Mereka pasti akan menyita waktu, telinga, dan perhatianmu. Seringkali, anak tidak membutuhkan nasihat panjang. Mereka hanya ingin kita menengok saat mereka memanggil: “Ayah, lihat ini!” Betapa sedihnya bila panggilan tersebut adalah panggilan terakhirnya
Ingat, anak adalah amanah:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri adalah pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Gaza mengajarkan kita bahwa mencintai tak bisa ditunda, bahwa waktu bisa runtuh kapan saja, bahwa pelukan adalah bentuk jihad—perlawanan terhadap dinginnya dunia, bahwa seorang ayah bisa menyesal seumur hidup hanya karena menunda membeli keripik.
Gaza juga mengajarkan kita tentang ketabahan. Bahkan setelah kehilangan semua, mereka tetap sujud. Mereka tetap berkata, “Alhamdulillah.” Mereka tetap mendoakan kita yang masih punya anak-anak untuk dipeluk setiap malam.
Kini, suara ayah Aboud kembali menggetarkan udara, dalam siaran pendek yang viral di media:
“Bisikkan padaku… Demi Rabbmu… Tolong jawab aku…”
Namu, jawaban itu takkan pernah ia dengar lagi. Sementara, dunia terus sibuk. Banyak ayah masih sibuk dengan rapat, banyak ibu masih menatap layar, alih-alih wajah anak, namun tanya yang sama bergema:
“Apakah kamu yakin anakmu tidak sedang menunggumu hari ini?”