Damai Aqsha – Bayi itu masih merah. Umurnya baru beberapa bulan. Ia ditemukan di balik reruntuhan rumahnya di Gaza, selamat, tanpa luka sedikit pun di tubuhnya. Namun, dunia tahu, ada bagian dari jiwanya yang tidak akan utuh — kedua orang tuanya tewas, tubuh mereka remuk di bawah puing-puing yang sama. Bayi ini tidak menangis saat ditemukan. Tentu saja ia terlalu kecil untuk memahami kesedihan sebesar itu.
Lima jam di bawah reruntuhan, tanpa susu, tanpa dekapan, tanpa suara yang meninabobokkan. Yang ada hanya debu, dingin, dan diam yang panjang. Dunia di luar reruntuhan berisik—ledakan, jeritan, kamera, dan komentar netizen. Namun, realita dunia di dalam puing adalah dunia yang hanya dipenuhi pertanyaan: ke mana ayahku? ke mana ibu?
Ia selamat. Namun, bukan berarti ia hidup seperti yang lain. Ia akan tumbuh tanpa pelukan pertama dari ibunya, tanpa suara lembut yang biasa menenangkan bayi saat malam. Ia tidak akan pernah tahu rasa aman dari genggaman tangan ayah. Ia akan tumbuh dalam dunia yang pertama kali memperkenalkannya pada kehilangan—bukan kasih sayang. Dingin itu bukan hanya dari udara malam Gaza, tapi dari kenyataan yang akan mengikutinya sepanjang hidup.
John Bowlby, pencetus teori attachment, mengatakan bahwa tahun pertama kehidupan merupakan masa paling krusial dalam membentuk rasa aman seorang anak. Saat bayi kehilangan kelekatan emosional dari sosok ibu atau ayah, maka ia kehilangan fondasi psikologisnya. Mary Ainsworth melanjutkan, bayi yang kehilangan orang tua di usia dini akan mengalami gangguan attachment yang bisa berdampak seumur hidup—dari kesulitan percaya, hingga trauma tak kasatmata.
Erik Erikson menyebut masa bayi sebagai fase “trust vs mistrust”—fase pertama dalam kehidupan manusia. Seorang bayi yang tidak merasakan kehadiran orang tuanya, tak bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap dunia. Jika itu gagal, maka seluruh tahapan perkembangan selanjutnya akan goyah. Bayi ini mungkin akan tersenyum kelak, tapi dalam senyum itu terpendam duka yang tidak bisa dijelaskan.
Menurut Pejabat Kementerian Kesehatan Palestina, sebagaimana dikutip oleh detik.com, lebih dari 38.000 anak di Gaza kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya sejak agresi besar-besaran Israel dimulai pada akhir 2023 (data per-Januari 2025). Ingat, angka tersebut bukan sekadar statistik. Ini adalah jumlah tumpukan trauma yang akan diwariskan. Setiap angka itu adalah cerita dan setiap cerita adalah luka.
Ketika Cinta Pertama Dibunuh
Dalam Islam, anak yatim punya tempat mulia. Dalam Qur’an, surat Ad-Dhuha ayat 9, Allah Swt. berfirman:
فَأَمَّا ٱلۡيَتِيمَ فَلَا تَقۡهَرۡ
“Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang.”
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ
“Aku dan orang yang menanggung anak yatim akan berada di surga seperti dua jari ini.”
(HR. Bukhari, No. 5304)
Anak yatim dalam Islam bukan hanya anak yang harus dikasihani. Mereka adalah amanah dari Allah Swt. bagi siapapun yang mampu menanggungnya, dan siapa pun yang menelantarkan mereka berarti berkhianat pada Amanah-Nya. Maka, ketika Israel membunuh ayah dan ibu dari bayi ini, yang mereka bunuh bukan hanya tubuh manusia, tapi juga rantai pengasuhan, pendidikan, cinta, dan nilai-nilai yang turun dari generasi ke generasi.
Bayangkan tumbuh besar tanpa suara orang tua yang bisa kau sebut namanya. Bayangkan belajar bicara tanpa tahu siapa yang dulu pertama kali menyebutkan namamu. Bayangkan menangis di malam hari tanpa tangan yang mengusap, tanpa dada tempat bersandar. Kehilangan orang tua di masa kecil adalah kehilangan fondasi diri—dan anak-anak Gaza harus menghadapi reruntuhan itu sejak dalam buaian.
Data dari APA (American Psychological Association) menyebutkan bahwa anak-anak yang kehilangan orang tua karena kekerasan bersenjata memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan keinginan bunuh diri ketika dewasa. Dalam studi Klass, Silverman & Nickman (1996), disebutkan bahwa kehilangan orang tua pada masa kecil sering menciptakan “ikatan yang tidak selesai”—ikatan yang terus hidup di dalam hati, tapi tak pernah bisa dipeluk secara nyata.
Fenomena ini juga sekaligus menjadi bantahan keras bagi Israel yang selalu mengatakan apa yang mereka lakukan ini sebagai “perang”. Ini adalah penghancuran sistematis atas masa depan sebuah bangsa—dimulai dari anak-anaknya. Setiap anak yatim yang dibiarkan tumbuh tanpa perlindungan adalah target perang jangka panjang karena anak yang tak utuh jiwanya adalah anak yang sulit berdiri. Kemudian, bangsa tanpa anak-anak yang bisa berdiri tak akan ada yang bisa meneruskan eksistensinya.
Lebih dari itu, ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Negara Barat yang selama ini paling lantang bersuara tentang hak asasi manusia, namun membisu di hadapan tubuh bayi yang kedinginan tanpa orang tua. Dunia berlomba memberi reaksi pada trending topic, tapi tak lagi mampu menangis untuk anak-anak yang kini memeluk malam tanpa menemukan kehangatan. Ini bukan hanya soal Palestina. Ini soal siapa kita sebagai manusia.
Cinta pertama seorang anak adalah orang tuanya dan jika cinta pertama itu dibunuh, bagaimana ia bisa belajar mencintai dunia? Bagaimana ia bisa percaya pada langit jika dunia sudah memperkenalkannya pada neraka? Kita terlalu sering bicara tentang “masa depan anak bangsa”, tapi di Gaza, masa depan itu dibom, lalu dikubur sebelum sempat tumbuh.
Rasulullah ﷺ bukan hanya nabi. Ia adalah yatim. Ia tahu rasa dingin di malam pertama tanpa ibu. Ia tahu bagaimana rasanya tumbuh tanpa pangkuan ayah. Maka siapa yang mengaku mencintainya, tapi membisu saat ribuan anak mengalami hal yang sama? Bukankah cinta kepada Rasul seharusnya memunculkan cinta kepada anak-anak yatim?
Bayangkan jika anak itu adalah anakmu. Kau menatapnya dari layar—debu di rambutnya, matanya kosong, tubuhnya dingin. Dan kau tahu, kau tak bisa memeluknya. Tapi kau juga tahu, kau bisa bersuara untuknya. Kau bisa menyampaikan kisahnya ke dunia. Kau bisa menyalakan satu lilin kecil dalam gelap panjang yang ditinggalkan oleh rudal dan kebisuan.
Jika kita tidak bisa menjadi orang tua yang ia butuhkan, jangan sampai kita menjadi dunia yang membiarkannya sendirian.
Bayi itu belum bisa bicara, tapi tubuhnya sudah menyimpan cerita tentang kekejaman yang terlalu awal ia kenal. Ia mungkin akan tumbuh besar, tapi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak punya jawaban. Mengapa aku selamat? Kenapa hanya aku? Di mana ibu waktu itu? Apa ayah sempat menjerit memanggilku? Kemudian, pertanyaan paling menakutkan yang tak akan pernah ada jawabannya: kenapa dunia membiarkan ini terjadi?
Psikologi perkembangan menyebut masa bayi dan anak-anak sebagai periode emas—bukan hanya untuk pertumbuhan otak dan tubuh, tapi juga penanaman makna hidup. Menurut Piaget, tahap-tahap kognitif awal sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan terdekat. Tanpa sosok utama—orang tua—pengembangan konsep dasar seperti kepercayaan, cinta, aman, dan harapan bisa rusak. Anak-anak Gaza sedang tumbuh di tanah yang tidak memberi ruang untuk bermain, tidak memberi langit untuk berkhayal, dan tidak memberi rumah untuk pulang.
Kita bisa membayangkan bayi ini tumbuh menjadi remaja. Mungkin ia akan jadi penghafal Qur’an. Mungkin ia akan jadi dokter. Namun, tetap saja dalam setiap prestasinya, ada satu ruang kosong yang tidak pernah terisi—sebuah foto usang orang tua yang tak sempat ia panggil dengan kata “Abi” dan “Ummi.” Dingin itu tak lagi soal suhu udara. Ia telah menjadi suasana batin, identitas, bahkan warisan.
Apa yang dilakukan Israel bukan hanya mencabut nyawa, tapi mencabut akar kehidupan dari setiap generasi. Mereka tak hanya membom sekolah, rumah sakit, dan masjid—mereka membom struktur psikososial masyarakat. Mereka tidak hanya membunuh orang tua, mereka membunuh bayangan masa depan dari anak-anak itu. Ini bukan peperangan antara dua pihak setara. Ini adalah penghancuran satu generasi demi menjaga ilusi kekuasaan.
Dingin yang Bukan dari Cuaca
Di tengah reruntuhan itu, Allah Swt. melihat. Dan kita diminta untuk melihat pula—bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. Kita mungkin tak bisa mengembalikan orang tua bayi itu. Tapi kita bisa menjaganya dengan suara. Dengan solidaritas. Dengan keberanian menyebut yang zalim sebagai zalim, dan membela yang teraniaya meski hanya dengan tulisan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ…
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya…”
(HR. Muslim No. 49)
Jika tangan kita tak mampu, maka ubahlah dengan lisan. Jika lisan pun tak mampu, maka ubahlah dengan hati—dan itu adalah selemah-lemahnya iman. Asal, jangan jadikan kelemahan sebagai alasan untuk membisu. Ingat, bayi itu tidak punya lisan untuk membela dirinya. Suaranya hilang bersama orang tuanya. Tinggal kita—yang mengaku manusia—untuk menggantikannya.
Bayi ini tidak minta lahir di Gaza, tapi ia berhak tumbuh dengan kasih sayang seperti anak-anak lain di belahan dunia yang aman. Kita tidak bisa menyalahkan takdir, tapi kita bisa memilih untuk tidak menjadi bagian dari sistem yang membiarkannya membeku dalam dingin yang sunyi.
Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa salah satu bentuk dzulm (kezaliman) terbesar adalah ketika manusia tahu ada yang terzalimi, namun ia diam. Maka mendiamkan bayi yang kehilangan segalanya, adalah bentuk dzulm kolektif kita semua. Kita telah membiarkannya menggigil, tidak hanya oleh udara, tapi oleh kelalaian dunia yang terlalu nyaman untuk peduli.
Gaza bukan hanya soal politik. Gaza adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa yang masih memiliki hati, dan siapa yang sudah membungkus hati itu dengan berita, statistik, dan rutinitas. Gaza bukan sekadar wilayah, tapi panggilan nurani bagi siapa pun yang masih percaya bahwa hidup ini lebih dari sekadar scroll dan swipe.
Mungkin kamu tidak bisa datang ke Gaza. Mungkin kamu tidak bisa menggendong bayi itu. Namun, kamu bisa berbicara. Kamu bisa menulis. Kamu bisa berdonasi. Kamu bisa mendo’akan. Kamu bisa menjadikan kisah ini sebagai bahan renungan, khutbah, atau obrolan keluarga—agar dunia tidak melupakan bahwa ada bayi yang menggigil bukan karena cuaca, tapi karena kehilangan yang terlalu besar untuk dicerna.
Bayi ini tidak butuh kita bersedih semata. Ia butuh kita bertanggung jawab. Bertanggung jawab atas kemanusiaan yang sering kita klaim, tapi tak kita jalani. Ia butuh dunia yang bukan hanya memberi selimut, tapi memberi harapan.
Jika hari ini kamu masih bisa tidur dalam pelukan orang tua atau mencium anakmu sebelum tidur, maka bersyukurlah. Dan gunakan rasa syukur itu sebagai bahan bakar untuk membela mereka yang kehilangan semua itu dalam sekejap. Karena hari ini mungkin kamu yang membantu, tapi besok, bisa jadi kamu yang membutuhkan.
Bayi ini selamat, tapi bukan berarti hidupnya aman. Ia akan tumbuh dalam reruntuhan, dibesarkan oleh luka yang tidak dia minta. Namun, mungkin, dengan cinta kita, suara kita, dan doa kita, dingin itu tidak akan jadi warisan yang ia bawa seumur hidup.