Damai Aqsha – Ketika rasa lapar muncul, wajar jika seseorang sulit mengontrol dirinya. Ekspresinya macam-macam, mulai dari marah-marah karena orderan lama, bahkan ada yang saling baku hantam. Efek psikologis dari lapar memang wajar, namun bukan berarti seseorang dibenarkan mengikuti nalurinya secara membabi buta, apalagi kelaparannya tidak sampai mengancam nyawanya. Meski dalam kondisi terdesak, Islam memotivasi dan membimbing kita agar tetap mulia walau dalam kondisi lapar.
Diberitakan oleh sindonews, seorang emak-emak marah-marah pada karyawan warung gegara pesanannya lama. Dalam video yang menjadi rujukan, emak-emk itu nampak teriak-teriak pada karyawan sebuah warung yang sedang menyiapkan pesanan. Meski sang karyawan sudah meminta maaf atas keterlambatannya, namun emak-emak itu tatap pada sikapnya. Bahkan, emak-emak tersebut mengatakan ingin pesanannya didahulukan lantaran membawa anak dan tengah berlibur. Dia juga menyebut bahwa nasi goreng dan tongseng pesanannya lama datang.
“Maaf-maaf. Lu jangan begitu. Sini kan liburan bawa anak. Diutamain dulu dong. Kita itu orang tua,” kata emak-emak itu dalam video dikutip pada Senin (6/6/2022).
Dalam kondisi serupa, seorang agen bus travel harus meregang nyawa lantaran berebut penumpang. Memang bukan dalam kondisi lapar dalam artian yang sebenarnya, namun bukankah orang bekerja juga untuk mencari makan? Sang agen tewas setelah ditusuk oleh sesama rekan seprofesinya. Begitulah ketika seseorang dikuasai “rasa lapar”, bukan sekadar dapat memicu amarah, bahkan bisa lebih jauh dari itu.
Dalam kehidupan kita sehari-hari pun, mungkin sebagian kita tanpa sadar kurang sabar menunggu pesanan. Saat pesan makanan, kita biasa memberi pesan, “gak pake lama ya mbak/ mas..”. Kalaupun tidak terungkap pada pihak yang bersangkutan, setidaknya keluar decak ludah disertai gerutuan, “ck, lama bener sih, gak tau apa perut dah keroncongan?” Mungkin kita berpikir itu wajar. Memang wajar karena ada korelasi yang erat antara kondisi perut lapar dan rendahnya pengendalian emosi. Dalam kajian psikologi sosial, fenomena tersebut adalah “hangry”; gabungan “hunger” yakni lapar dan “angry” yakni marah.
Bekerja sama dengan para peneliti di Austria dan Malaysia, Prof Viren Swami, seorang psikolog sosial di Universitas Anglia Ruskin, merekrut 64 orang dewasa berusia 18 hingga 60 tahun untuk mencatat perubahan emosi dan rasa lapar mereka lima kali sehari selama tiga minggu. Ia menemukan anak-anak yang kelaparan cenderung tidak dapat belajar secara efektif dan bermasalah secara perilaku. Karenanya, penting anak-anak mendapatkan makan dengan baik sehingga mengurangi dampak negatifnya. Sedang pada orang dewasa, keterampilan sosial nya menurun setelah melewatkan makan siang.
Bila kita menilai perilaku tersebut wajar, lantas bagaimana dengan sikap anak-anak di Palestina yang dengan tenangnya mengantri makanan. “Gak lapar?” masa iya. Mereka dapat makan paling banyak sehari sekali.
Dalam sebuah video yang kami temukan, terlihat seorang anak terlantar Palestina akhirnya mendapatkan makanan setelah berjam-jam menunggu. Ketika memperolehnya, ia tak euforia layaknya sebagian dari kita yang memasukkan segala jenis makanan di waktu berbuka puasa, yang ujungnya berat melaksanakan shalat tarawih. Ia tetap tenang, tak berubah baik saat menunggu maupun ketika memperoleh yang dihasratkannya. Mereka jelas kelaparan, makanan pun langka, sampai-sampai kentang busuk, bahkan pakan ternak pun menjadi buruan.
Ketika Rasa Lapar Melanda
Rasa lapar, merupakan salah satu bentuk ujian yang niscaya dialami oleh setiap orang. Sebenarnya kadar ujiannya sebentar, tapi karena kecenderungan kita melihat pada hal negatif lebih baik daripada hal positif, rasa lapar itu jadi terasa begitu menyebalkan. Padahal, kalau kita jujur menghitung, lebih sering kita lapar atau cukup? Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 155, Allah Swt. mengungkapkan bahwa setiap orang pasti akan merasakan “sedikit lapar” dalam hidupnya. Allah Swt. berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Rasa lapar itu niscaya, dan kecenderungan sulit mengendalikan emosi saat mengalaminya pun wajar. Namun, Allah Swt. mengatakan, “berita gembira pada orang-orang yang sabar”. Ujian sedikit kelaparan itu niscaya, maka nilainya di mata Allah Swt. itu tergantung cara kita menyikapinya.
Ingat, dunia itu tempatnya ujian, pasti ada saja rintangan yang akan menguji sejauh mana kesabaran kita dalam menyikapinya. Semakin seseorang bersabar, tentu semakin baik ia di mata Allah Swt. Selain itu, semakin orang tinggi derajatnya di mata Allah Swt. yang berarti imannya kokoh, maka semakin berat tingkat ujiannya. Jika kita melihat orang Palestina begitu kelaparan karena sulitnya makan, namun di mata Allah Swt. bisa jadi mereka memang orang yang mampu menahan lapar sesabar itu sehingga tetap sedikit di mata mereka. Kalau kita sulit sabar barang sebentar menunggu orderan, bisa jadi sabar kita memang setipis itu dibandingkan anak Palestina.
Lantas dari mana anak Palestina itu belajar bagaimana menyikapi rasa lapar ini? Untuk itu, mari kita masuk sejenak ke rumah baginda Rasulullah Saw. Ketika suatu pagi masuk ke rumahnya Bunda Aisyah Ra. ternyata tak menemukan apapun untuk beliau makan. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengatakan:
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).
Beliau tidak bersungut-sungut, apalagi marah ketika lapar dan tak menemukan sesuap pun makanan di rumahnya. Beliau tenang saja, kemudian beliau bersabar, bahkan mengisi hari tersebut dengan puasa. Hikmahnya, mental beliau terkondisikan, asam lambung pun tertahan. Beda jika seseorang justru tak meluapkan kekesalannya. Asam lambung tentu jadi naik, malah memperburuk kondisi psikologis lebih jauh lagi.
Lantas dari mana ketenangan itu berasal? Tentu saja dari keimanan pada Allah Swt. dan pemahaman yang benar soal konsep rizki.
Pada dasarnya, setiap orang sudah ditetapkan kadar rizkinya sejak ruhnya ditiupkan selama dalam rahim ibunya, bersamaan dengan ajal, bahagia, dan sengsaranya. Artinya, selama jatah rezeki seseorang itu belum habis, maka seseorang itu takkan meninggal. Itu juga berarti, meski perjalanan rezeki itu terhalang oleh laut dan pegunungan, maka akan sampai juga. Dalam Qur’an, surat Ath-Thalaq ayat 3, Allah Swt. berfirman,
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Kalau kita menganggap rezeki itu harta, ketahuilah itu hanya salah satunya. Pun harta yang menjadi rezki kita itu sebenarnya tak lebih dari “ukuran diri kita” sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh muslim no. 2959 menyebutkan ada 3 hal yang merupakan rezeki sejati yang sudah menjadi hak milik kita, berikut adalah haditsnya:
يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ
“Hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim no. 2959)
Dengan begitu, selama sudah Allah Swt. takdirkan sebutir garam di lautan itu sampai ke mulut kita, yakinlah akan sampai juga. Pun jika belum sampai, yakinlah suatu saat akan sampai juga, takkan ada yang mampu menghalanginya. Kondisi lapar itu tak lebih dari cara Allah Swt. menguji keimanan kita pada-Nya, apakah kita mampu bersabar atau tidak. Mau bersabar atau tidak, kalau sebutir nasi itu memang jatah kita tentu sampai ke mulut kita. Pun, kalau pun kita marah-marah, apalagi sampai menyakiti orang lain, belum tentu sampai. Kalaupun sampai, tak ada lagi nilai keberkahannya.
Maka, bersabarlah dengan “sedikit” menunggu.