Damai Aqsha – Akibat blokade yang dilakukan penjajah Israel, enam bayi berpulang sesaat setelah kelahirannya. Cuaca dingin yang mendekap masyarakat Gaza terlalu mematikan bagi bayi baru lahir. Blokade penjajah mengakibatkan bantuan pemanas, bantuan makanan, serta bangunan sementara tidak bisa memasuki Gaza hari ini. Meski begitu, dunia boleh skeptis kalau Israel akan merespon akibat buruk tersebut lantaran mereka justru bersuka cita di atas penderitaan rakyat Gaza, bahkan Rabi Yahudi memerintahkan pembunuhan anak-anak Gaza.
Tanpa perlindungan yang memadai, bayi-bayi ini tidak mampu bertahan dalam suhu ekstrem yang menyapu Gaza. Seperti dilaporkan oleh AFP pada Rabu (26/2/2025), kehancuran total akibat serangan berkepanjangan membuat keluarga-keluarga Palestina terpaksa bertahan di tenda-tenda darurat atau di reruntuhan rumah mereka, tanpa alat pemanas, tanpa selimut yang cukup, atau bahkan tanpa dinding yang bisa melindungi mereka dari dinginnya malam.
“Dalam sepekan terakhir, kami mencatat kematian enam bayi yang baru lahir akibat dingin ekstrem dan tidak adanya pemanas yang memadai,” ungkap Mahmoud Bassal, juru bicara badan pertahanan sipil Gaza, dalam pernyataannya pada Selasa (25/2) waktu setempat.
Di balik itu, pakar meteorologi mengonfirmasi bahwa suhu di Gaza turun drastis hingga nol derajat Celcius dalam beberapa hari terakhir, seiring dengan gelombang dingin yang melanda kawasan Mediterania bagian timur.
Mengutip siloamhospitals.com, bayi sangat rentan terhadap suhu dingin karena mekanisme pengaturan suhu tubuh mereka belum sempurna. Paparan suhu 0 derajat Celcius dapat menyebabkan hipotermia, yaitu kondisi di mana suhu tubuh menurun drastis hingga di bawah batas normal. Masalahnya, hipotermia pada bayi dapat terjadi lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa karena luas permukaan tubuh mereka yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan sehingga bisa kehilangan panas tubuh lebih cepat.
Selain itu, lapisan lemak pada bayi juga lebih tipis. Lemak coklat yang dimiliki bayi berfungsi menghasilkan panas, tetapi jumlahnya terbatas. Jika suhu tubuh turun terlalu drastis, tubuh tidak mampu lagi memproduksi panas yang cukup untuk menjaga organ vital tetap berfungsi.
Karena itu, gejala awal hipotermia pada bayi meliputi kulit yang dingin dan pucat, pernapasan lambat, serta reaksi yang lamban atau lemah. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat berkembang menjadi lebih parah, menyebabkan kegagalan organ vital, dan akhirnya kematian. Faktor lingkungan seperti kurangnya pakaian hangat, tempat tinggal yang tidak memadai, dan kurangnya akses ke pemanas turut memperparah risiko ini.
Kasus kematian enam bayi baru lahir di Gaza baru-baru ini menyoroti betapa seriusnya ancaman hipotermia di wilayah dengan fasilitas kesehatan dan infrastruktur yang terbatas. Kurangnya pemanas dan kondisi cuaca ekstrem menjadi faktor utama yang menyebabkan tragedi ini.
Masalahnya, meski gencatan senjata masih berlangsung, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza masih jauh dari cukup. Ratusan ribu warga Palestina tetap terjebak dalam kondisi mengenaskan, berjuang untuk bertahan hidup di bawah terpaan cuaca dingin tanpa perlengkapan yang layak. Akibatnya, banyak dari mereka terpaksa berkemah di antara reruntuhan rumah yang hancur, menggigil di malam hari, sementara bantuan yang seharusnya menyelamatkan nyawa mereka terus terhambat.
Blokade Yang Disengaja
Kondisi tersebut tak lepas dari pemblokiran masuknya semua bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh penjajah Israel. Pihak penjajah beralasan sikap tersebut mereka lakukan lantaran pihak pejuang kemerdekaan Palestina yang sempat menunda pembebasan tawanan. Padahal, di balik penundaan tersebut dipicu oleh kroco penjajah Israel sendiri, di mana baru hari kedua saja dari hari kesepakatan gencatan senjata, mereka menembaki seorang anak di Gaza dan pantai Gaza. Padahal, alasan di balik penahanan bantuan ke Gaza adalah upaya pemerasan agar pihak pejuang menyetujui poin-poin proposal perjanjian yang diajukan oleh pihak penjajah Israel.
Pejuang kemerdekaan Palestina menerangkan, upaya serupa bukan kali ini saja dilakukan oleh penjajah Israel. Pihak penjajah, telah berulang kali menghalangi masuknya bahan-bahan penting untuk perlindungan 2,4 juta penduduk Gaza, yang sebagian besar telah mengungsi lebih dari satu kali akibat perang yang terus berkecamuk. Kematian enam bayi tak berdosa ini disebut sebagai dampak langsung dari blokade yang mencegah masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.
“Kami mendesak para mediator untuk segera bertindak guna menghentikan pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh pendudukan (Israel)… serta memastikan pasokan penting seperti tempat berlindung, alat pemanas, dan kebutuhan medis dapat segera masuk ke Gaza,” tegas pejuang kemerdekaan Palestina, Hamas dalam pernyataannya.
“Langkah ini sangat krusial demi menyelamatkan anak-anak Gaza yang tak berdosa,” lanjutnya.
Meski begitu, melihat kejadian, perilaku, atau sikap para politisi atau pemuka agama penjajah Israel, rasanya sulit mengetuk hati mereka untuk “kasihan” pada warga Gaza. Yang pertama, sebagaimana yang sering kita kemukakan, pernyataan-pernyataan Menteri Keuangan (penjajah) Israel, Bezalel Smotrich, yang terang-terangan ingin membantai warga Gaza. Selanjutnya, kita juga dapat menemukan seorang Rabi atau pemuka agama Yahudi, Eliyahu Mali yang justru menganjurkan pembunuhan warga Gaza, bahkan anak-anak.
Mengutip Anadolu Ajansi, Hal itu disampaikan Eliyahu Mali dalam sebuah video yang beredar luas pada hari Kamis di media sosial. Mali mengepalai sekolah agama Shirat Moshe di Jaffa di Israel tengah, tempat para siswanya bertugas di ketentaraan.
“Dalam perang mitzvah (suci) kami, dalam situasi kami di Gaza, berdasarkan hukum yang berlaku, ‘Tidak semua jiwa akan hidup,’ dan logikanya sangat jelas: jika Anda tidak membunuh mereka, mereka akan membunuh Anda,” kata Mali.
Padahal, dalam hukum Yahudi, membunuh anak atau bayi merupakan kejahatan besar yang disebut Retzach (רצח), yang berarti pembunuhan terlarang.
“Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya sendiri akan tertumpah oleh manusia, karena Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya.” (Kejadian 9:6).
Kemudian, dalam Sepuluh Perintah Allah, hukum keenam berbunyi:
“Lo Tirtzach” (לא תרצח) — Janganlah membunuh.” (Keluaran 20:13).
Hukum Yahudi mewajibkan hukuman mati bagi pembunuhan yang disengaja, tetapi hanya jika ada dua saksi mata yang sah dan jika pelaku telah diperingatkan sebelumnya.
Artinya, apa yang dikemukakan oleh para politisi penjajah Israel maupun pemuka Agama Rabi Yahudi tersebut tak lain, hanya bentuk propaganda politik. Mereka melakukannya, bukan karena landasan keyakinan yang benar, melainkan untuk memuaskan hawa nafsu mereka belaka. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Ighatsatul Lahafan menjelaskan bahwa orang yang dikuasai hawa nafsunya akan kehilangan kelembutan hati dan terjerumus dalam kebrutalan. Itulah juga yang terjadi pada Fir’aun.
Selanjutnya, Indoktrinasi dan propaganda yang mereka lakukan pada akhirnya dapat membentuk persepsi bahwa tindakan kejam terhadap kelompok tertentu, dalam hal ini warga Gaza adalah wajar atau bahkan terpuji. Hal ini mengakibatkan hilangnya rasa bersalah atau penyesalan atas tindakan yang sebenarnya melanggar norma kemanusiaan.
Kalau kita telaah lebih jauh, hal itu tak lepas dari karakter yang memang melekat pada kepribadian para penjajah Israel. Dalam Al-Qur’an, apa yang terjadi pada mereka adalah “matinya nurani, di mana hatinya sudah keras dari batu. Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 74, Allah Swt. berfirman,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّنۢ بَعْدِ ذَٰلِكَ فَهِىَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً ۚ وَإِنَّ مِنَ ٱلْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ ٱلْأَنْهَٰرُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ ٱلْمَآءُ ۚ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Membiarkan atau bahkan merayakan kematian bayi merupakan tindakan yang sulit dipahami dan menunjukkan adanya gangguan moral serta empati. Dari perspektif psikologis, perilaku para pemimpin politik penjajah Israel dan pemuka agamanya semacam ini disebabkan karena mereka mengalami “dehumanisasi”, yaitu proses di mana individu atau kelompok tidak lagi dianggap sebagai manusia seutuhnya. Dehumanisasi sering terjadi dalam situasi konflik berkepanjangan, di mana pihak lawan dianggap sebagai “musuh” yang layak menerima perlakuan tidak manusiawi.
Di sisi lain, para pengikutnya juga “taqlid buta” pada para pemimpin atau pendahulunya, tanpa mengkritisi kebenarannya. Studi Milgram menunjukkan, orang bisa melakukan tindakan tidak bermoral hanya karena mengikuti perintah dari otoritas tanpa mempertimbangkan dampaknya. Dalam kasus bayi yang dibiarkan mati, bisa jadi mereka hanya mengikuti kebijakan atau perintah tanpa memikirkan moralitasnya.
Jika hati para penjajah Israel sudah begitu kerasnya, takkan mampu dicairkan oleh berita kematian bayi sekalipun, menurut Anda, cara apa yang cocok bagi para penjajah Israel ini sehingga menghentikan kejahatannya?