Rakyat Palestina hingga saat ini terus melakukan perjuangan melawan ketidakadilan dan penjajahan yang di lakukan oleh Israel. Tak hanya itu, perlawanan semakin memuncak tak kala Presiden AS Donald Trump mengakui Kota Yerusalem sebagai Ibukota Israel.
Banyak protes dari beberapa kalangan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyatakan keputusan tersebut sebagai langkah mundur Amerika Serikat dari proses perdamaian. Dia juga menilai bahwa Trump memposisikan diri sebagai aktor konflik dan bukan mediator. Dikutip dari CNN, ia bahkan menolak bertemu Wakil Presiden Mike Pence selama kunjungannya ke Timur Tengah.
Selain Abbas, pemimpin Hamas, Ismail Haniya juga mengecam keputusan Trump tersebut. Dilansir dari Al Jazeera, ia menyebutnya sebagai sebuah deklarasi perang melawan warga Palestina. Tak sampai di situ saja, Haniya mengajak Palestina untuk melakukan Intifada jilid tiga. Intifada sendiri merupakan gerakan perlawanan secara terus-menerus oleh warga Palestina terhadap Israel.
Sejarah Intifadha Pertama 1987
Perlawanan Rakyat Palestina telah banyak di kenal di mata dunia dengan istilah Intifadha yang menggambarkan perjuangan menentang penjajahan di Palestina. Serangkaian aksi telah di lakukan sejak 9 Desember 1987 di antaranya demonstrasi besar-besaran, pemogokan untuk membayar pajak, memboikot produk Israel, propaganda melalui tulisan serta bentuk-bentuk perlawanan lainnya. Hingga akhir tahun 1988, telah terjadi 23.092 demonstrasi yang di lakukan di wilayah Palestina sebagai sarana menyampaikan sikap dan protes terhadap penjajah Israel.
Gerakan ini pun menyebabkan banyaknya korban jiwa dari rakyat Palestina. Dalam tiga pekan pertama, lebih dari 20 penduduk Palestina terbunuh dan pada September 1993 silam, pasukan Israel telah membunuh 1.070 rakyat Palestina dimana termasuk di dalamnya 237 anak-anak. Selama 2 tahun pertama gerakan Intifadha ini berlangsung, lebih dari setengah korban dari 5.000 rakyat yang terluka adalah anak-anak.
Gerakan ini pun menyebabkan lebih dari 400 warga Palestina di deportasi dari tanah kelahirannya dan 175.000 warga Palestina harus mendekam dalam jeruji tahanan penjajah. Bahkan 5.000 warga Palestina lainnya, harus merasakan dinginnya penjara tanpa dakwaan dan proses pengadilan yang jelas. Selain di penjara, warga Palestina juga mendapatkan kekerasan berupa panyiksaan selama menjalani masa tahanan. Gerakan perjuangan ini pun menyebabkan hancurnya 2.000 rumah warga Palestina yang dilakukan oleh penjajah Israel.
Sejarah Intifadha Kedua
Gerakan di mulai pada tanggal 28 September 2000 dimana pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon beserta 3.000 pasukannya menyerbu Masjid Al Aqsha dan mengotorinya. Tindakan ini menyulut kemarahan umat Islam dan warga Palestina dengan mengecam dan mencoba menghalangi serbuan tersebut. Akibatnya 5 orang mati syahid dan ratusan lainnya terluka. Peristiwa ini menyulut munculnya gerakan Intifadha ke dua oleh warga Palestina terhadap penjajah Israel.
Setelah peristiwa tersebut, keesokan harinya setelah salat Jumat, protes berupa aksi yang dilakukan oleh warga Palestina kembali meluas di seluruh Yerusalem. Dalam aksi tersebut, 7 warga Palestina meninggal dan 300 lainnya mengalami luka-luka. Gelombang aksi juga terjadi di Tepi Barat dan Gaza.
Peristiwa tersebut yang berlangsung dari tahun 2.000 hingga 2019 juga menyebabkan 2.103 jiwa anak-anak Palestina telah terenggut oleh kejamnya militer Israel dilansir dari laporan Gerakan Perlindungan Anak Internasional melalui Nusantara Palestina Center.
Menurut beberapa sumber, gerakan Intifadha ini berakhir ditandai ketika Sharon dan Mahmoud Abbas menyepakati gencatan senjata di Sharm El-Sheikh pada 8 Februari 2005. Akan tetapi perlawanan rakyat Palestina terus berlangsung hingga hari ini sebagai ikhtiar membebaskan Tanah Palestina.
(Sumber: Idn Times dan Middle East Monitor)