Baru-baru ini, dunia mendapatkan kabar duka dengan syahidnya seorang pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh pada Rabu 31 Juli 2024. Ismail Haniyeh meninggal terbunuh ketika sedang berada di Teheran, Iran, dalam rangka menghadiri inagurasi presiden baru Iran, Masoud Pezeshkian. Menurut laporan middleeastmonitor.com, Ismail sedang menginap di sebuah guest house yang berafiliasi dengan Korps Garda Revolusi Islam Iran ketika serangan bom menyerbunya.
Sebelumnya pada 20 Juli 2024 lalu, ICJ atau Mahkamah Internasional telah menetapkan bahwa perbuatan Israel kepada Palestina adalah pelanggaran hukum. ICJ sudah mendesak Israel untuk hengkang dari wilayah-wilayah yang dijajah di tanah Palestina secepatnya. Dengan putusan itu, semua negara wajib untuk tidak mengakui kependudukan Israel sebagai tindakan yang sah, termasuk juga melarang dukungan kepada Israel. Pembicaraan mengenai ceasefire atau gencatan senjata pun tengah dilakukan. Damai Aqsha mengutip analisis berkenaan dengan terbunuhnya pemimpin perlawanan rakyat Gaza ini atas penjajahan brutal Israel kepada warga Palestina dan rencana untuk gencatan senjata.
Siapakah Ismail Haniyeh?
Ismail Haniyeh adalah pemimpin Hamas, yang merupakan tokoh yang sangat besar dalam pergerakan rakyat Gaza melawan penjajah. Dikutip dari Middle East Monitor dan Aljazeera, Haniyeh lahir di Shati, yaitu di kamp pengungsian kota Gaza bagian utara. Orangtuanya termasuk dalam daftar warga Gaza yang terusir dari Palestina pada saat tragedi Nakba tahun 1948, ketika Israel menghapus etnis warga asli Palestina. Haniyeh yang merupakan lulusan Sastra Arab Universitas Islam Gaza begitu memperjuangkan kemerdekaan Palestina, hingga pernah beberapa kali ditangkap oleh militer Israel dan dipenjara pada tahun 1980-an.
Pada tahun 1988, Haniyeh menjadi salah satu anggota pendiri Hamas, yang juga menjadi penentu arah karir politiknya. Haniyeh menjabat dalam waktu singkat sebagai perdana menteri pemerintahan persatuan Palestina pada tahun 2006, sebelum Hamas menguasai Gaza pada tahun 2007. Dia terus memimpin pemerintahan de facto di Gaza hingga 2017 ketika dia terpilih sebagai kepala biro politik Hamas. Pada tahun 2019, Haniyeh pindah ke Qatar, mengambil peran yang lebih menonjol dalam diplomasi internasional kelompok tersebut.
Peran Haniyeh dalam Diplomasi Mencapai Gencatan Senjata
Masyarakat dunia telah menyerukan perdamaian atau gencatan senjata, supaya Israel berhenti melakukan kejahatannya kepada Palestina. Dalam analisis yang dikumpulkan oleh Nasim Ahmed pada middleeastmonitor.com, sebelum terbunuh, Haniyeh sedang memimpin upaya diplomasi untuk mencapai ceasefire (gencatan senjata). Haniyeh memiliki peran sangat penting dalam negosiasi gencatan senjata ini. Pembunuhan pemimpin Hamas ini terjadi setelah gagalnya beberapa kesepakatan akibat penolakan Israel untuk menerima gencatan senjata permanen, yang akan memfasilitasi pembebasan para sandera. Dengan kematiannya, ada potensi melemahnya upaya perdamaian ini.
Adakah itikad Israel untuk Berdamai?
Sheikh Mohammed Bin Abdulrahman Al-Thani sebagai Perdana Menteri Qatar menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas pembunuhan Ismail Haniyeh ini.
“Bagaimana bisa mediasi berhasil jika salah satu pihak membunuh pihak lain yang bernegosiasi?”
Pembunuhan politis kepada Haniyeh ini sesuai dengan pola perilaku Israel yang meresahkan. Para pengamat politik sudah lama melihat ketakutan Israel atas apa yang Israel sebut sebagai “serangan terhadap perdamaian”. Melalui sepanjang sejarah kependudukan, Israel telah menargetkan pemimpin moderat Palestina yang menunjukkan potensi untuk mencapai negosiasi perdamaian. Menurut para pengamat, strategi ini ditujukan untuk menutup pintu kemungkinan perdamaian dan tetap mempertahankan serangan yang supaya Israel tetap bisa berdaulat secara ilegal di atas tanah bersejarah Palestina.
Secara singkat, ICJ sudah mengutuk perbuatan Israel. Rakyat dunia juga sudah mengecam Israel. Rakyat di dunia sudah menyuarakan untuk dilakukannya gencatan senjata, supaya Israel berhenti menyakiti Palestina. Upaya diplomasi juga sudah dilakukan oleh pimpinan Hamas, gerakan resistensi di Palestina. Namun, Israel tidak sedikit pun menunjukkan itikad untuk berdamai. Dengan ini, kita semakin gencar melancarkan dukungan kepada Palestina, pihak yang terjajah. Terus boikot produk yang mendukung Israel, supaya ekonomi mereka semakin melemah.