Damai Aqsha – Ketika hujan deras membasahi Jakarta, seorang anak menangis karena takut petir. Ibunya segera memeluk dan menenangkannya hingga tertidur. Di waktu yang sama, di Gaza, suara dentuman yang terdengar bukanlah petir – melainkan bom yang menghancurkan rumah-rumah, memisahkan anak-anak dari pelukan orang tua mereka untuk selamanya. Menurut data Al Jazeera Dalam 15 bulan terakhir, setidaknya 46.707 orang di Gaza telah terbunuh, termasuk sekitar 18.000 anak-anak.
Tank-tank Merkava Israel merangsek masuk ke pemukiman padat penduduk, menghancurkan bangunan demi bangunan tanpa pandang bulu. Drone-drone pembunuh menghujani Gaza dengan bom presisi yang ironisnya justru membantai warga sipil. Pesawat tempur F-16 menjatuhkan bom-bom penghancur gedung bertingkat, menimbun hidup-hidup keluarga yang berlindung di dalamnya. Amnesty International mencatat, hanya dalam 100 hari pertama saja, serangan Israel telah menghancurkan 339 sekolah dan 12 rumah sakit utama di Gaza.
“Kami menemukan mayat seorang ibu masih memeluk ketiga anaknya di bawah reruntuhan,” ungkap Mohammed Al-Hadad, petugas penyelamat sipil Gaza. Ia menambahkan, “Sang ibu menggunakan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi anak-anaknya dari reruntuhan, tapi mereka semua tidak selamat.” Kisah-kisah serupa terus bermunculan setiap hari, menambah daftar panjang kekejian yang terjadi di Gaza.
Anadolu Ajansi mencatat, hingga hari ini, setidaknya 38.000 anak Gaza telah menjadi yatim piatu. Pejabat Palestina menjelaskan bahwa sekitar 32.151 anak kehilangan ayah mereka, 4.417 kehilangan ibu mereka, dan 1.918 kehilangan kedua orang tua mereka. Dr. Mohammad Abu Rayya, psikiater anak di Gaza, menegaskan bahwa jumlah ini terus bertambah setiap jam. “Setiap kali bom jatuh, ada anak yang kehilangan ayah, ibu, atau bahkan keduanya,” jelasnya dengan nada berat.
Serangan Israel tidak hanya merenggut nyawa orang tua, tetapi juga menghancurkan seluruh sistem pendukung keluarga besar. Kakek nenek yang biasanya menjadi pengganti orang tua pun tidak luput dari pembantaian. WHO melaporkan bahwa 40% korban tewas adalah anggota keluarga besar – termasuk paman, bibi, dan sepupu – yang biasanya menjadi sistem pendukung bagi anak-anak yatim piatu.
Luka “Tak Terlihat”
“Saya bermimpi mama setiap malam,” ujar Amira, gadis 11 tahun yang kehilangan kedua orang tuanya dalam serangan udara. “Dalam mimpi, mama selalu tersenyum dan memeluk saya. Tapi ketika bangun, saya sendirian. Saya takut tidur karena tidak mau kehilangan mama lagi setiap kali terbangun.” Kesaksian Amira hanyalah satu dari ribuan cerita pilu anak-anak Gaza yang harus hidup dengan trauma berlapis.
Dr. Samah Jabr, psikiater Palestina, melaporkan bahwa 89% anak-anak Gaza mengalami gangguan tidur parah. “Mereka tidak hanya kehilangan orang tua, tetapi juga kehilangan rasa aman yang fundamental bagi perkembangan jiwa mereka,” jelasnya. Studi UNICEF menunjukkan bahwa 95% anak-anak Gaza menunjukkan perubahan perilaku signifikan: dari yang ceria menjadi pendiam, dari berani menjadi ketakutan akan segala hal.
Para psikolog mencatat manifestasi trauma yang berbeda pada setiap kelompok umur. Anak-anak balita menunjukkan kemunduran perilaku – yang sudah bisa ke toilet kembali mengompol, yang sudah lancar berbicara kembali terbata-bata. Anak usia sekolah mengalami kesulitan berkonsentrasi dan sering tiba-tiba menangis. Remaja menunjukkan gejala depresi berat dan kehilangan harapan akan masa depan.
“Bayangkan anak-anak yang terbangun setiap malam karena mimpi buruk, dan tidak ada pelukan ibu yang menenangkan mereka,” ungkap Sarah Copland dari UNICEF. Riset menunjukkan bahwa trauma masa kecil akibat kehilangan orang tua dalam situasi kekerasan dapat menyebabkan perubahan biologis yang mempengaruhi respons stres sepanjang hidup.
Situasi ini diperparah oleh hancurnya sistem pendukung kesehatan mental di Gaza. Dari 27 pusat konseling anak yang ada sebelum perang, kini hanya tersisa 3 yang masih bisa beroperasi. “Kami kewalahan,” ungkap Dr. Hussam Abu Safiya. “Terlalu banyak anak yang membutuhkan bantuan, terlalu sedikit tenaga profesional yang tersisa.”
Merasakan Kesepian
Pernahkah Anda pulang ke rumah kosong setelah seharian bekerja? Rasanya menyesakkan, bukan? Riset American Psychological Association menunjukkan bahwa kesepian dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental hingga 40% pada orang dewasa. Kita yang dewasa saja bisa merasa hancur karena kesepian, bagaimana dengan anak-anak Gaza yang kehilangan seluruh sistem pendukung mereka?
Dr. Lisa Damour, psikolog remaja terkemuka, menegaskan bahwa anak-anak membutuhkan minimal satu orang dewasa yang benar-benar peduli untuk berkembang dengan sehat. Kita, orang dewasa, masih bisa mencari pengalihan dengan bekerja, bergaul, atau mencari hiburan. Tapi anak-anak Gaza? WHO melaporkan 84% fasilitas rekreasi anak di sana telah hancur, meninggalkan mereka tanpa sarana untuk mengalihkan duka.
Kesepian yang kita rasakan mungkin bisa diobati dengan menelepon teman atau mengunjungi keluarga. Namun bagi anak-anak Gaza, setiap telepon yang tidak terjawab mengingatkan mereka bahwa orang yang mereka rindukan telah tiada. Setiap kunjungan ke rumah keluarga bisa berarti menemukan puing-puing dan kenangan yang membuat luka semakin dalam.
Bagi kita yang masih memiliki kesempatan memeluk anak-anak setiap hari, kisah pilu anak-anak Gaza adalah pengingat untuk tidak pernah menganggap remeh momen kebersamaan dengan keluarga. Setiap pelukan, setiap “aku sayang kamu”, setiap momen mendengarkan cerita mereka adalah investasi tak ternilai bagi masa depan anak-anak kita.
Mari kita jadikan tragedy ini sebagai momentum untuk menjadi orang tua yang lebih baik. Luangkan waktu khusus setiap hari untuk benar-benar hadir bagi anak-anak kita – tanpa gangguan telepon genggam atau pekerjaan. Dengarkan cerita mereka dengan sungguh-sungguh, dampingi mimpi-mimpi mereka, dan yang terpenting, tunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah sendiri.
Karena di suatu tempat di Gaza sana, 38.000 anak hanya bisa memimpikan kehangatan pelukan yang bagi anak-anak kita adalah rutinitas sehari-hari. Pelukan yang mungkin kita anggap biasa adalah hal yang mereka rindukan setiap detik dalam hidup mereka.