Damai Aqsha — Dalam sebuah wawancara media, petinggi Israel, Nissim Vaturi, dengan lugas menyerukan pemisahan antara anak-anak Gaza dan ibu mereka serta membunuh seluruh orang dewasa yang tersisa. Dengan nada sinis, ia menyebut warga Palestina sebagai “bajingan” dan mempertanyakan siapa di antara mereka yang tidak bersalah.
“Warga sipil keluar dan membantai orang-orang dengan darah dingin. Mereka adalah orang buangan dan tidak ada seorang pun di dunia yang menginginkan mereka,” , sebagaimana dikutip oleh Middle East Eye. Ia juga menyatakan, masyarakat internasional seharusnya memahami bahwa penduduk Gaza tidak diterima di manapun.
Kemudian, dalam sebuah video, seorang tentara Israel dengan bangga memamerkan curian dari rumah warga Palestina, mengungkapkan sikap ekstrimnya yang tanpa ampun. Di samping itu, seorang anak perempuan Israel terlihat mengolok-ngolok warga Palestina yang tengah kelaparan, mengungkapkan betapa mendalamnya kebencian yang telah tertanam bahkan sejak usia dini.
Bayangkan, anak-anak saja sudah seperti itu bencinya. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar: dari mana asal kebencian yang begitu mendalam ini sehingga generasi muda saja sudah sebenci itu?
Dari sudut pandang psikologi komunikasi dan klinis, seseorang yang dengan terang-terangan menyerukan pembantaian suatu etnis biasanya telah mengalami proses dehumanisasi yang intens. Proses ini memungkinkan individu tersebut melihat kelompok sasaran sebagai “lain” yang tidak layak mendapatkan perlakuan kemanusiaan, sehingga moral internalnya pun tereduksi.
Seperti yang dijelaskan dalam teori *moral disengagement* oleh Albert Bandura, individu mengaktifkan mekanisme psikologis yang menonaktifkan perasaan bersalah untuk membenarkan tindakan kekerasan. Padahal, Allah Swt. telah menetapkan syari’at pada bani Israil sejak dahulu, bahwa membunuh satu manusia saja begitu berat bobotnya. Dalam Qur’an, surat Al-Maidah ayat 32, Allah Swt. berfirman,
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Kebencian mendalam yang mendorong seruan pembantaian sering kali ditandai dengan gangguan emosional dan pola pikir yang terdistorsi. Individu yang terperangkap dalam kedengkian cenderung mengalami tekanan mental kronis yang memicu stres dan kecemasan, sekaligus mengakibatkan terjadinya “moral disengagement”—di mana nilai moral dan empati mereka terkikis.
Penelitian dalam psikologi positif menunjukkan bahwa perilaku ekstrem dan penolakan terhadap nilai kemanusiaan bisa meningkatkan risiko radikalisasi dan ekstremisme, sebagaimana dibuktikan oleh studi tentang hubungan antara kebencian yang mendalam dengan tindakan kekerasan. Sebagaimana kita dapati dalam banyak sumber, anak-anak di Israel sudah dibiasakan pada perilaku kekerasan pada warga Palestina. Bahkan, dalam salah satu aktivitas sekolahnya, menyaksikan pembantaian menjadi pilihan aktivitas study tour.
Belum lagi, orang-orang Yahudi ini, memendam dendam yang begitu lama pada kemanusiaan, terutama setelah menghadapi raja-raja di Eropa. Hasil penelitian oleh Sonja Lyubomirsky dan Martin Seligman menegaskan bahwa ketidakmampuan melepaskan rasa dendam dan kebencian dapat menimbulkan efek psikologis negatif yang luas, menghambat proses penyembuhan dan pemulihan emosi.
Warisan Turun Temurun
Kedengkian yang melahirkan kebencian ekstrim ini tidak muncul begitu saja; ia merupakan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sejak zaman kuno, nilai-nilai kemuliaan dan hak kenabian telah diperebutkan dengan penuh kesombongan, seperti yang tercermin dalam narasi “Bani Israil dikecam karena kepongahannya. Sumbernya dengki.”
Sejarah mencatat bahwa Iblis menolak sujud kepada Adam karena dengki, dan Qâbîl membunuh Hâbîl karena alasan yang sama. Rasa dengki telah menjadi benih dari dosa tertua, menumbuhkan perasaan benci yang kemudian mengakar dalam jiwa dan mempengaruhi sikap kolektif. Ketika kelompok merasa tersisih atau tidak diakui—seperti penolakan terhadap Nabi Muhammad oleh sebagian Bani Israil yang merasa kenabian adalah hak keturunan Ishak—rasa dengki itu kian membesar dan berkembang menjadi sikap yang merusak.
Dalam konteks kekinian, contoh kebencian yang terjadi antara pihak Israel dan Palestina merupakan perpanjangan dari sejarah panjang kedengkian. Salah satunya, seperti Nissim Vaturi menggunakan retorika yang sama untuk melegitimasi kebencian mereka sehingga menghasilkan seruan yang mengerikan dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan, video yang menampilkan tindakan eksploitatif seperti pencurian rumah warga Palestina dan ejekan dari anak-anak mengungkapkan betapa dalamnya kebencian kolektif yang ditimbulkan oleh perilaku mereka sendiri tersebut.
Kebencian yang terus-menerus dibiarkan tanpa penanggulangan akan memicu siklus kekerasan yang berulang. Seperti yang diajarkan oleh para ulama dan sejarah, kedengkian yang ditanamkan sejak dahulu kala tidak hanya menodai jiwa, tetapi juga mengakibatkan kehancuran sosial dan politik. Nabi Muhammad Saw. mengajarkan pentingnya muhasabah dan introspeksi untuk melepaskan beban dendam dan memulihkan keharmonisan, sebuah pesan yang sangat relevan dalam menghadapi konflik modern.
Lebih jauh, Al-Qur’an dengan tegas menyebutkan bahwa mereka yang mengizinkan kedengkian untuk tumbuh dan mengakar akan mendapatkan azab yang setimpal. Hal ini bukan hanya peringatan spiritual, tetapi juga cerminan dari proses psikologis yang merusak hubungan antar manusia dan menimbulkan keretakan dalam tatanan sosial. Sejarah dan agama sama-sama mengingatkan bahwa kedengkian adalah benih bagi segala macam penyakit, baik di ranah personal, sosial, maupun politik.
Kedengkian yang diturunkan secara turun-temurun menjadi sumber konflik yang sulit diatasi. Dalam konteks konflik antara Israel dan Palestina, kebencian yang diwariskan telah menimbulkan penderitaan kolektif dan menghambat kemungkinan terjadinya perdamaian sejati. Ini adalah pelajaran berharga bahwa tanpa pengakuan atas nilai kemanusiaan yang universal, sejarah akan terus mengulang kekerasan yang sama.
Mari kita berhati-hati dan peka terhadap munculnya rasa kedengkian dalam diri kita. Ingatlah, kedengkian adalah pemicu yang bisa mengeluarkan iblis dari dalam surga, dan juga pemicu hilangnya sisi kemanusiaan pada orang-orang Israel hari ini; menjerumuskan mereka pada dosa-dosa besar yang tiada habisnya. Na’udzubuillahi min dzaalik.