Damai Aqsha – Jika dahulu Namrud membangun tungku api raksasa demi membakar Ibrahim sang pembawa tauhid, Fir’aun memperbudak dan membantai bayi laki-laki Bani Israil demi mengamankan kekuasaannya, dan Dzu Nuwas membakar ribuan rakyatnya hanya karena mereka menolak menyembahnya sebagai tuhan, maka hari ini kita menyaksikan kekejaman yang bahkan melampaui itu semua. Tentara Israel, di abad ke-21 yang mengaku beradab ini, mencabik tubuh anak-anak, perempuan, dan menyayat wajah-wajah tak bersalah dengan bom-bom berdaya ledak tinggi. Mereka melakukannya bukan karena peperangan militer setara, tetapi terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata.
Pertanyaannya, jika di masa lalu kita menyebut Namrud, Fir’aun, dan Dzu Nuwas sebagai simbol kezaliman, bagaimana kita menyebut kekejaman Israel hari ini? Jika dahulu kisah para raja tiran itu hanya bisa dibayangkan lewat lembaran kitab, kini kita melihat kekejaman yang lebih brutal dalam bentuk nyata, live, dan berdarah di linimasa sosial media kita. Inikah wajah peradaban hari ini?
Sebuah video memilukan beredar di jagat maya. Seorang ayah di Gaza terlihat merangkak di atas puing-puing bangunan, memunguti satu demi satu potongan daging anaknya yang hancur akibat ledakan bom Israel. Potongan itu ia masukkan ke dalam kantong plastik bening. Tak ada teriakan. Tak ada air mata. Hanya diam yang mengiris. Dalam diam itu, ia sedang menahan dunia yang runtuh. Di sisi lain, seorang kakak memunguti sisa tubuh adiknya yang menempel di dinding—sekadar tulang kecil, kulit, dan serpihan organ yang terlempar akibat ledakan.
Kejadian itu bukan satu atau dua. Itu kini menjadi rutinitas harian di Gaza. Para relawan medis dan warga mengumpulkan sisa tubuh—tulang belulang anak-anak, perempuan, bahkan bayi—dengan kantong plastik. Pemandangan semacam itu terekam dalam laporan Detik.com, menunjukkan betapa tak bersisanya serangan udara Israel. Di bulan Ramadan, saat dunia muslim menunaikan ibadah dengan damai, Gaza menjadi kuburan masal yang terus membengkak.
Berdasarkan laporan dari beberapa sumber, hingga awal April 2025, lebih dari 50.200 warga Palestina terbunuh, lebih dari 114.000 terluka, dan ratusan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal. Sekitar 70% korban jiwa adalah perempuan dan anak-anak. Angka ini lebih dari sekadar statistik; itu adalah jumlah tangisan, kehilangan, dan rasa hancur yang tak bisa disembuhkan selamanya. Pembersihan etnis bukan hanya asumsi—ini genosida dalam definisi paling telanjang.
Bayangkan jika yang terjadi itu menimpa kita: rumah dibom saat sahur, kemudian serpihan daging anak-anak kita terserak ke tembok, dan kita harus memunguti potongan tubuh mereka dengan kantong plastik. Tak ada waktu untuk menangis. Tak ada ruang untuk mengubur dengan layak. Rasa kehilangan pada keluarganya pastilah memantik duka yang dalam. Namun, di sisi lain mengiris “jantung” kemanusiaan pelakunya.
Namrud, Fir’aun, dan Dzu Nuwas Bersatu Tak Seberapa Kejam Israel
Namrud, sebagaimana dikisahkan dalam tafsir Ibnu Katsir, adalah raja zalim yang memerintahkan pembakaran Nabi Ibrahim hidup-hidup karena dakwah tauhidnya. Ia membunuh bayi-bayi laki-laki karena takut akan muncul ancaman terhadap kekuasaannya. Namun, ia hanya membunuh untuk mempertahankan kekuasaan—tidak mencincang tubuh dan mengolok-olok jasad seperti yang dilakukan tentara Israel hari ini.
Fir’aun, penguasa Mesir zaman Musa, lebih kejam lagi. Ia menyembelih bayi laki-laki Bani Israil secara sistematis, menyalib para penyihir yang beriman kepada Musa, bahkan menyalib istrinya sendiri, Asiyah, yang menolak kekufurannya. Namun, kekejaman Fir’aun berhenti saat ajal menjemputnya di laut Merah. Kekejaman Israel, sebaliknya, terus hidup, ditayangkan langsung dalam kejadian demi kejadian.
Dzu Nuwas, raja dari Yaman, membakar lebih dari 20.000 orang yang beriman kepada ajaran Nasrani di masa itu. Kisah ini diabadikan dalam Surat Al-Buruj ayat 4-8. Namun, mereka dibakar sekali dalam satu lubang. Tidak dihancurkan berkeping-keping hingga dagingnya menempel di tiang rumah. Tentara Israel hari ini membunuh bukan hanya satu generasi, tapi seluruh silsilah keluarga—bayi, ibu, kakek, nenek, semua sekaligus.
Sejak Oktober 2023, Israel telah menjatuhkan lebih dari 70.000 ton bom ke Gaza. Menurut Al Jazeera dan Anadolu Agency, ini lebih banyak dari semua bom yang dijatuhkan AS dalam Perang Dunia II di kawasan Pasifik. Bayi laki-laki dan perempuan dibunuh. Ibu mereka dibom. Kakek mereka dibakar hidup-hidup. Bahkan relawan medis dibunuh saat mengevakuasi korban.
Semua ini dilakukan demi “kepentingan keamanan nasional,” padahal kenyataannya, banyak laporan yang menunjukkan bahwa serangan tersebut adalah bentuk pemusnahan etnis (ethnic clensing) atau genosida sistematis semata karena cinta mereka terhadap dunia. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 96, Allah menggambarkan bahwa kaum Yahudi adalah kaum yang sangat mencintai kehidupan dunia, bahkan lebih daripada orang musyrik:
وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Mereka rela membunuh seluruh keturunan Palestina demi tanah dan klaim historis yang tak lebih dari dusta geopolitik.
Maka jika kekejaman Namrud, Fir’aun, dan Dzu Nuwas menjadi peringatan dalam kitab suci, maka kekejaman Israel hari ini adalah peringatan dalam kenyataan. Tinggal kita mau membaca atau mengabaikannya. Mau bersuara atau membisu. Mau menjadi manusia, atau menjadi pengecut yang memalingkan wajah dari luka.
Mutilasi: Perilaku Yang Membangkitkan “Zombie”
Sadisme dan mutilasi terhadap tubuh musuh bukan hanya melukai korban, tapi juga merusak pelaku. Dalam psikologi klinis, ini dikenal sebagai moral injury atau cedera moral—kerusakan mendalam pada nilai dan integritas moral seseorang akibat melakukan atau menyaksikan tindakan yang bertentangan dengan nurani. Teori Jonathan Shay dan Brett Litz menegaskan bahwa individu yang mengalami cedera moral cenderung kehilangan empati, merasa hampa, bahkan tak lagi menganggap dirinya manusia.
Pemimpin-pemimpin sadis seperti Hitler, Stalin, Mao, dan jenderal penjatuh bom atom bukanlah manusia tanpa rasa—mereka adalah manusia yang telah kehilangan jiwanya akibat luka moral yang tidak ditangani. Studi dari VA Boston (2010) menyebutkan bahwa cedera moral menyebabkan krisis identitas, keinginan bunuh diri, dan pemutusan hubungan sosial yang mendalam. Mereka tidak lagi merasa layak dicintai, atau bahkan hidup.
Inilah hikmah dilarangnya memutilasi jasad musuh dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
اغْزُوا بِسْمِ اللَّهِ، فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ، اغْزُوا وَلاَ تَغْدِرُوا، وَلاَ تُمَثِّلُوا، وَلاَ تَقْتُلُوا وَلِيدًا
“Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Jangan berkhianat, jangan berlebihan, jangan mutilasi (memotong-motong mayat musuh), dan jangan membunuh anak kecil.” (HR. Muslim, no. 1731)
Larangan memutilasi bukan hanya soal etika perang, tapi juga penjagaan terhadap akhlak dan kemanusiaan pelaku. Islam melindungi pelaku agar tidak kehilangan jiwanya, sebagaimana melindungi korban agar tak diperlakukan keji. Karena sekali manusia menginjak garis batas ini, yang tersisa hanyalah monster dalam tubuh manusia.
Kekejaman Israel hari ini bukan sekadar konflik. Ia adalah genosida. Ia adalah pertunjukan kebrutalan yang ditayangkan ke seluruh dunia, di mana dunia memilih diam. Kekejaman ini harus disuarakan, harus dilawan, harus dihentikan. Karena jika tidak, bisa jadi menyebar luas ke seantero dunia layaknya wabah.
Kekejaman dalam diri Israel hari ini, layaknya wabah zombie. Kekejaman akan menular pada orang-orang yang membiarkannya. Saudara-saudara kita di Palestina mengorbankan nyawa untuk mencegah wabah ini menyebar lebih luas. Maka jangan biarkan perjuangan mereka sia-sia. Suarakan, bantu, lawan, dan jangan menyerah menjadi manusia.