Damai Aqsha – Di salah satu sudut Rafah, bocah lelaki berusia sembilan tahun duduk di atas puing yang dulunya adalah sekolahnya. Ia memeluk mushaf kecil dengan sampul yang robek, dan mengulang hafalan surat Al-Mulk. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara drone di kejauhan. Namun, bagi anak itu, setiap ayat yang keluar dari lisannya adalah tameng—perlindungan batin dari kenyataan yang kejam.
Sejak awal 2024, krisis di Gaza meningkat tajam. Serangan udara tanpa jeda, kelangkaan makanan, serta lumpuhnya layanan kesehatan dan pendidikan membuat kehidupan anak-anak di wilayah ini runtuh secara fisik dan emosional. Laporan UNICEF per Mei 2025 mencatat lebih dari 16.000 anak tewas dan 34.000 lainnya mengalami luka. Namun yang tak tercatat dalam statistik adalah luka batin yang mereka tanggung: kehilangan rumah, keluarga, dan rasa aman.
Studi yang dilakukan oleh Mohammad Marie dan kawan-kawan, menyebutkan bahwa hampir semua anak di Gaza menunjukkan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD). Gejala seperti mimpi buruk, kecemasan berlebih, dan depresi menjadi hal biasa. Namun, justru dalam kondisi mental yang kritis itu, banyak dari mereka menemukan ketenangan dalam lantunan Al-Qur’an..
Camp Al-Qur’an menjadi salah satu oase spiritual yang bertahan di tengah reruntuhan. Meski tanpa tenda memadai dan logistik terbatas, ratusan anak tetap berkumpul dalam lingkaran kecil, melantunkan ayat-ayat suci, terutama di musim-musim liburan seperti Ramadhan tahun ini. Mereka datang bukan karena “harus”, tetapi karena orang tua mereka tahu, Qur’an merupakan bekal yang akan menguatkan mereka.
“Aku ingin menghafal surat Ar-Rahman agar aku bisa mendengarnya di surga bersama ibuku,” ujar Yasmin, 11 tahun, yang kehilangan seluruh keluarganya dalam serangan drone. Kisah seperti ini bukan fiksi. Dalam laporan Heal Palestine, puluhan anak menyebut Al-Qur’an sebagai satu-satunya ‘teman’ yang masih tersisa. Di dunia yang telah merampas segalanya, mushaf yang lusuh pun menjadi pelukan paling hangat.
Bagi anak-anak itu, ayat-ayat suci bukan sekadar bacaan. Setiap huruf yang mereka lafalkan adalah tali yang menghubungkan mereka dengan sesuatu yang lebih besar sehingga bisa meredakan rasa takut. Ayat-ayat yang menghibur, menjanjikan surga, atau mengingatkan bahwa penderitaan adalah bagian dari ujian, menjadi energi psikis yang sulit dijelaskan oleh teori psikologi Barat.
Sebagian psikolog menyebutnya sebagai proses “meaning-making” dalam konteks trauma, yaitu kemampuan untuk menanamkan makna pada penderitaan agar seseorang tetap bisa bertahan. Al-Qur’an memberikan makna itu: bahwa hidup mereka bukan sia-sia, bahwa kematian keluarga mereka bukan akhir segalanya, dan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka.
Fakta “penyembuhan” ini sejalan dengan firman Allah dalam Qur’an, surat Al-Isra’ ayat 82,
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
Ayat ini bukan hanya metafora spiritual. Ia hidup dan dirasakan secara nyata oleh anak-anak yang menghafalnya di tengah gempuran.
Dari pemaparan tersebut bukan berarti anak-anak Gaza tidak terluka. Mereka tetap mengalami trauma, tangisan, dan kehilangan. Tapi mereka punya satu hal yang menjaga hati mereka dari kehancuran total: suara ayat yang terus terngiang dan makna yang terus hidup.
Al-Qur’an sebagai Jalan Pulang untuk Anak-Anak Kita
Di Indonesia, kita hidup tanpa dentuman rudal, namun “aman” bukan berarti bebas dari ancaman. Anak-anak kita menghadapi bentuk krisis yang berbeda: krisis makna, identitas, dan ketenangan batin. Gadget dan arus konten tanpa batas telah menyita ruang batin anak-anak tanpa mereka sadari.
Laporan Kominfo dan KPAI dalam lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan tajam pada kecanduan gawai di kalangan usia sekolah. Rata-rata waktu layar anak-anak usia 7–12 tahun mencapai lebih dari 5 jam sehari. Fenomena ini menimbulkan efek psikologis serius: kecemasan sosial, gangguan tidur, dan kehilangan fokus belajar.
Penelitian dari Universitas California San Francisco tahun 2024 menunjukkan bahwa screen time yang berlebihan pada usia pra-remaja berbanding lurus dengan peningkatan risiko depresi dan kecemasan dua tahun kemudian. Bahkan, pada level ringan sekalipun, efeknya mencakup gangguan ekspresi emosi, rendahnya daya juang, dan kemalasan kognitif.
Yang membuat ini berbahaya adalah karena krisis ini tidak terdengar. Tidak ada suara sirine saat mental anak-anak kita runtuh. Tidak ada puing-puing yang bisa kita lihat ketika batin mereka kosong dari makna dan nilai.
Di tengah tantangan ini, Al-Qur’an kembali hadir bukan sebagai kewajiban semata, melainkan sebagai terapi yang menenangkan dan memulihkan. Dalam Jurnal Psikologi Islami, Kita dapat menemukan, orang yang terbiasa mendengar atau membaca Al-Qur’an memiliki tingkat stres yang lebih rendah, bahkan pada kondisi lingkungan yang padat atau penuh tekanan.
Al-Qur’an tidak hanya mengisi kepala mereka, tapi juga mengisi hati mereka. Dalam psikologi perkembangan, kebiasaan membaca dengan irama, makna simbolik, dan asosiasi emosional seperti yang dimiliki oleh ayat-ayat Al-Qur’an dapat memperkuat integrasi kognitif dan stabilitas emosional.
Kita tidak perlu memaksakan anak menghafal 30 juz. Namun, kita bisa mulai dengan satu ayat yang bermakna. Satu ayat yang dibaca bersama sebelum tidur. Satu surat pendek yang diulang sambil sarapan. Satu kisah nabi yang disisipkan saat perjalanan mudik.
Liburan ini, kita bisa menyisipkan halaqah keluarga setiap pagi, mengikuti sanlat daring, atau membuat challenge Qur’an harian yang ringan. Kita bisa menjadikan mushaf sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang menyenangkan, bukan sebagai beban pelajaran tambahan.
Orangtua tak perlu merasa bersalah jika selama ini belum maksimal. Justru menyadari dan memulai dari sekarang adalah bentuk keberanian spiritual yang besar. Apalagi jika dilakukan bersama anak-anak, dengan penuh cinta dan konsistensi.
Kita bisa belajar dari Gaza, bukan karena mereka lebih menderita, tetapi karena mereka telah membuktikan bahwa Al-Qur’an mampu menjadi tameng terbaik bahkan saat dunia di sekeliling mereka hancur. Maka, di ruang aman kita, dengan listrik menyala dan dapur mengepul, kita memiliki lebih banyak alasan untuk memulainya.
Mari jadikan Al-Qur’an bukan hanya kitab suci yang dibaca saat duka, tetapi jalan pulang bagi jiwa-jiwa kecil kita yang tersesat dalam riuhnya dunia digital. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh jauh dari firman-Nya, hanya karena kita lupa bahwa ayat suci adalah pangkuan yang tak tergantikan.
Mungkin anak-anak kita belum bisa seperti anak-anak di Gaza, Palestina. Namun, mereka bisa meneladani semangat itu. Pada akhirnya, jika hari ini kita menyalakan cinta kepada Al-Qur’an, kelak mereka yang akan menjaga cahaya umat ini saat kita sudah tiada.