Damai Aqsha – Kehujanan di motor saat pulang kerja, lupa bawa jas hujan pula; baju basah saja sudah tak nyaman, apalagi ditambah angin berhembus. Ingin rasanya segera sampai di rumah. Begitupun yang saudara kita rasakan di Palestina. Mereka kini menghadapi musim hujan dengan udara yang membuat dingin kian menusuk. Namun, mereka tak bisa berlindung darinya, apalagi pulang. Ditambah, hujan yang menimpa mereka bukan hanya air, namun juga bom.
Rumah-rumah mereka hancur akibat bombardir terus menerus yang dilakukan oleh penjajah Israel. Akibatnya, mereka mengungsi di rumah sakit atau sekolah. Rupanya, payung hukum yang melindungi dua jenis bangunan tersebut pun, tak mampu menahan bombardir Israel terkutuk. Sebagian lagi warga Gaza, mengungsi di sebuah kawasan menggunakan tenda-tenda seadanya. Itupun tak sanggup memunculkan kemanusiaan kebengisan para penjajah. Beberapa kawasan tenda pengungsian habis terbakar, bahkan menjadi target penembakan dengan artileri tank Merkava.
Satu tahun Genosida dilancarkan, tingkat kehancuran gedung-gedung di Gaza sudah mencapai 60 persen. Menurut dua investigasi Pusat Satelit Perserikatan bangsa-Bangsa PBB terkini, diperkirakan, 227.591 unit hunian rusak atau hancur. Tak hanya rumah, 68 persen jaringan jalan pun hancur.
Sementara itu, tempat pengungsian yang awalnya dianggap aman, seperti rumah sakit dan sekolah, tanpa sungkan sama sekali dihancurkan oleh tentara penjajah Israel sehingga hanya menyisakan dua dari 35 rumah sakit. Kabar terakhir, salah satu dari dua rumah sakit yang ada di Gaza, RS. Kamal Adwan dihantam bom yang dilepaskan dari drone penjajah Israel. Padahal dokter yang tersisa di dalamnya, hanya dua orang.
Sementara itu, 93% sekolah, yang juga menjadi alternatif “meneduh” dari bom, juga sudah hancur oleh penjajah. Sebagaimana dikutip oleh kompas.tv dari Kementrian Pendidikan dan Pelatihan di Gaza.
Rumah mereka hancur, gedung sekolah maupun rumah sakit juga dihancurkan oleh penjajah Israel. Dengan begitu, tak ada lagi tempat tersisa untuk meneduh kecuali tenda-tenda berbahan baku plastik. Namun, itupun tak mampu menahan laju kebengisan penjajah serakah Israel. Pada Oktober 2024 lalu, dunia digemparkan dengan pembakaran tenda pengungsi di halaman Rumah Sakit Syuhada Al Aqsa. Akibatnya, 40 korban terluka, 15 anak-anak meninggal dunia.
Lantas, di mana mereka dapat berlindung?
“Dekapan” Hujan
Di tengah hujan bom, kini masyarakat Palestina juga harus menghadapi dekapan hujan. Tanpa perlindungan, mereka harus menghadapi dingin yang menggigit. Hujan deras di bagian tengah dan selatan Gaza mengakibatkan kerusakan parah pada tenda-tenda yang masih berdiri. Sebagian tenda bocor, bahkan ambruk karena tak sanggup menahan air yang menggenang di atasnya. Untuk mengatasi bocoran, sebagian masyarakat menaruh ember di atas kasur agar tak basah.
Belum lagi, tenda-tenda pengungsian di garis pantai Gaza. Bukan hanya hancur akibat hujan yang turun dari langit, tenda juga hancur akibat air pasang. Sebagaimana dilaporkan oleh Jurnalis Al Jazeera, Hani Mahmud yang melaporkan dari Deir el-Balah, bagian tengah jalur Gaza.
Dilaporkan oleh kantor media pemerintah gaza, akibat hujan badai pada November lalu, sekitar 10 ribu tenda hanyut dan rusak akibat musim dingin.
“Menurut tim penilai lapangan pemerintah, 81% dari tenda-tenda pengungsi sudah tak dapat digunakan lagi. Dari 135.000 tenda, 110 ribu tenda sudah rusak total dan sangat perlu untuk diganti,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Bagaimana tidak rusak, tenda-tenda yang terpasang sejak setahun lalu, kini sudah usang dan tak mampu lagi memberikan perlindungan. Sedangkan harga tenda dan terpal plastik melambung tinggi sehingga tak terjangkau oleh para pengungsi.
Air hujan menghancurkan tenda, akibatnya warga Palestina juga terancam oleh dinginnya udara. Sebagaimana di negara-negara Eropa, puncak musim dingin di Palestina juga bisa sampai bersalju, terutama di beberapa pegunungan Hebron. Suhu rata-rata di sana bisa mencapai 15 – 0 derajat celcius. Musim dingin ini berlangsung selama kurang-lebih tiga bulan.
Tak berhenti sampai di situ, air hujan yang berada di atas tanah juga menimbulkan permasalahan baru, yakni tersebarnya limbah. Juru bicara badan pengungsi Palestina PBB, Louise Waridge menerangkan, sekitar setengah juta orang di Gaza teracam banjir limbah ketika hujan musim dingin mulai turun. “Saat hujan, limbah akan menumpuk di daerah (dataran) yang lebih rendah,” ungkapnya.
Sementara itu, pakaian yang menghangatkan pun minim, ditambah dengan makanan yang langka. Suad Al-Sabea, ibu dari enak anak dari Gaza Utara sekaligus penjual roti yang dibuat dengan oven dari tanah mengaku kesulitan menjual rotinya. Itu lantaran, air hujan merusak tepung dan ovennya.
“Saya biasanya takut hidup atau mati, sekarang kami khawatir dengan hujan,” katanya.
“Adonan tenggelam dalam air, dan banyak kasur yang terendam air. Hujan turun di atas kepala saya dan saya terus membuat kue untuk menafkahi anak-anak saya,” kata Sabea kepada Reuters.
Berbasah-basah di tengah hujan saja sudah membuat kita tak nyaman dan ingin segera pulang. Bagaimana dengan perasaan saudara kita di Gaza? Di tengah hujan deras bom dari tentara penjajah Israel, kini masyarakat Palestina juga harus menghadapi musim dingin dan hujan. Tak ada tempat berteduh, tak ada tempat untuk pulang.
Bila Anda ingin turut berkontribusi sedikit menghangatkan tubuh-tubuh saudara kita di Palestina, melindungi mereka walau dengan sehelai benang, menghangatkan perut-perutnya dengan sesuap sup, kami Damai Aqsha membukakan peluang bagi Anda.
Salurkan donasi terbaikmu melalui:
💳BSI 7555 55 8788
💳Mandiri (008) 1480 01627 4444
📱konfirmasi donasi ( 0852 4767 2424)