Damai Aqsha – Di Gaza, seorang ayah menggali reruntuhan dengan tangan kosong. Ia tidak sedang mencari emas, bukan pula senjata. Ia mencari anaknya. Satu-satunya yang masih bisa ia selamatkan dari dunia yang telah menuduhnya “teroris” hanya karena ia dilahirkan sebagai rakyat Palestina. Sementara di tempat lain, sebagaimana dikutip oleh CNBC (7/5/2025), seorang menteri Israel berdasi bernama Bezalel Smotrich menyeringai di podium: “Gaza harus dihancurkan total. Tak ada lagi Hamas. Tak ada lagi rakyat Palestina.”
Kalimat tersebut bukan obrolan rapat, namun kebijakan resmi. Bukan ucapan liar di pojok grup Telegram, tapi statement terbuka dari pejabat tertinggi kabinet keamanan Israel. Dunia menyaksikan, dan Amerika menyetujui. Gencatan senjata ditinggalkan, perbatasan ditutup, dan Gaza kini adalah panggung genosida yang dipertunjukkan pada dunia dengan rasa bangga.
Lebih parah lagi, rencana penghancuran itu bukan hasil ledakan emosi sesaat. Ia adalah strategi politik dingin dari seorang ideolog ultra-kanan: Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel, arsitek kebijakan rasis, yang terang-terangan menolak berdirinya negara Palestina. Bahkan pada Januari lalu, sebagaimana dikutip Anadolu Agency (18/1/2023), ia mengancam akan menjatuhkan pemerintahan Netanyahu jika Gaza tidak diduduki penuh dan dikuasai secara militer.
Mari kita buka topengnya. Smotrich bukan sekadar ekstremis biasa. Ia adalah ekstremis yang bersenjata kekuasaan, berbicara atas nama hukum, bergerak dengan anggaran negara (yang sebagiannya diperoleh dari minuman ringan atau makanan siap saji yang sebagian kita beli), dan memaksakan ideologinya lewat instrumen militer. Ia menyebut dirinya penjaga “keamanan dunia”, namun dengan cara menutup mata masyarakat dunia dari rancangan penghancuran massal.
Dia, sebagaimana para ekstremis yang cerdas, tahu bagaimana memainkan kata-kata. Ia melabeli pejuang kemerdekaan Palestina sebagai “teroris.” Tentu itu dilakukan lewat “mulut-mulut” pemerintah. Ia juga menyebut perjuangan membela tanah air di Palestina sebagai “radikalisme.” Tak hanya itu, label tersebut, mereka obral pada anak-anak yang belum puber dan menjadikan mereka memang pantas menembaki mereka. Pemerintahannya fasih melabeli seorang yang menggendong jenazah anaknya sebagai “pendukung teror.” Ia, sang pengusung penghapusan Gaza, menyebut dirinya penjaga moral dunia. Ini bukan delusi. Ini strategi.
Dalam psikologi sosial, taktik semacam ini dikenal sebagai proyeksi – menuduh pihak lain sebagai ekstremis padahal dirinya sendiri yang mengusung ideologi pemusnahan (Psychological projection and conflict framing, Yale University, 2020)
Kalau kita putar kembali timeline kehidupan dunia ini, kita dapat menemukan, faktanya bukan pertama kali dunia melihat taktik semacam itu. Belanda dulu menyebut pejuang Indonesia sebagai “bandit”, “ekstremis”, “perusuh.” Prancis menyebut revolusioner Aljazair “pengacau.” Afrika Selatan menyebut Mandela “teroris.” Smotrich hanya mengulang pola lama dalam kostum baru.
Masalahnya, bahaya racun Smotrich tidak berhenti di Gaza. Bahayanya bisa menyebar ke seluruh dunia. Bayangkan, jika ideologi ekstrem semacam ini dibiarkan, jika narasi rasis berjubah “keamanan” ini tidak dilawan, artinya dunia sedang membuka pintu bagi lahirnya ekstremisme baru yang, disahkan oleh parlemen, dan didukung oleh negara besar.
Buktinya, banyak pendukung Israel di seluruh dunia hari ini, termasuk di negara kita. Padahal, kurang merah apa darah yang mereka tumpahkan dari tubuh anak dan perempuan Palestina?
Bayangkan: seorang pemimpin negara dengan ideologi supremasi ras, dengan pengaruh global, menyebarkan kebijakan yang tak jauh berbeda dari apa yang pernah kita kecam dari Nazi Jerman. Namun kali ini, bukan dengan logo swastika, melainkan dengan lambang bintang david.
Jika Kita Diam Hari Ini, Maka Besok Kita Bisa Jadi Korbannya
Kita sering mendengar kalimat ini: “Kami mendukung Palestina, tapi kami menolak ekstremisme.” Kalimat itu terdengar netral, elegan, bijaksana. Tapi hati-hati. Kalimat itu sering menjadi jalan tengah palsu, yang diam-diam memberi ruang bagi kejahatan berkedok perlawanan ekstrem.
Karena nyatanya, dukungan pada Palestina justru adalah penolakan terhadap ekstremisme. Kenapa? Karena yang sebenarnya ekstrem bukanlah mereka yang bertahan dengan batu dan doa, tapi mereka yang punya tank, drone, bom, dan mulut penuh kebencian. Yang ekstrem adalah yang menganggap satu bangsa tak layak hidup. Yang ekstrem adalah yang ingin membangun “ketenangan” di atas penghapusan etnis.
Kita tidak bisa lagi mengatakan: “Itu urusan sana.” Smotrich bukan hanya ancaman bagi Palestina. Ia adalah simbol bahwa dunia sedang kehilangan batas antara keamanan dan kekejaman, antara pemerintahan dan ideologi supremasi. Jika hari ini kita membiarkannya berjalan, besok ia bisa menjadi model bagi ekstremisme lain: di Myanmar, di India, di Eropa, bahkan di negeri sendiri.
Ketahuilah ekstremisme, sebagaimana ideologi lainnya, tidak mengenal batas negara, agama, dan ras. Ia menjalar seperti virus: diam, halus, lalu membakar. Siapa yang paling rentan terpapar? Mereka adalah yang merasa netral. Karena netralitas, dalam konflik antara penjajah dan yang dijajah, adalah bentuk dukungan terhadap yang kuat.
Lalu, bagaimana cara melawan “Smotrichisme” ini?
Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kesadaran. Salah satunya, dengan menolak ikut menyebut pejuang sebagai teroris. Dengan tidak diam ketika ekstremisme dilegalkan. Dengan menyuarakan fakta, menyebarkan kebenaran, dan mendukung rakyat Palestina—karena mereka bukan hanya korban, mereka adalah peringatan hidup tentang apa yang bisa terjadi jika dunia menutup mata terlalu lama.
Palestina adalah garis merah kemanusiaan. Dukungan kita bukan sekadar aksi sosial, tapi benteng moral. Kita tidak sedang mendukung satu faksi. Kita sedang membela logika dunia yang waras: bahwa tidak ada satu bangsa pun yang layak dihapus hanya karena mereka melawan penjajahan.
Jika hari ini kita diam, kita sedang menyiapkan generasi baru Smotrich di berbagai belahan dunia. Tapi jika hari ini kita bersuara—tegas, tajam, meski hanya lewat satu tulisan atau satu klik—kita sedang menanam satu bata kecil untuk menghentikan ekstremisme global.
Terakhir.. Ingat: sejarah selalu berpihak pada mereka yang berkata benar walau mayoritas memilih diam.