• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Wednesday, June 18, 2025
Damaiaqsha.com
  • Login
  • Register
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
Damaiaqsha.com
No Result
View All Result
Home Kemanusiaan

Membela Palestina, Menjaga Warasnya Kemanusiaan dari Virus Kebencian asal Israel

Layaknya virus yang menyebabkan penyakit secara fisik, virus kebencian yang menjangkiti jiwa asal Israel juga merebak ke seluruh dunia

Damai Aqsha by Damai Aqsha
May 14, 2025
in Kemanusiaan
0
Membela Palestina, Menjaga Warasnya Kemanusiaan dari Virus Kebencian asal Israel

Gesture ancaman dari seorang pendukung Israel yang disampaikan pada demonstran pendukung Palestina. Sumber: tangkapan layar postingan instagram Damai Aqsha.

305
SHARES
2.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Damai Aqsha – Di salah satu sudut kota Eropa, dalam sebuah demonstrasi pro-Israel yang terekam jelas, seorang pria tua mengacungkan tangan dengan gerakan memotong leher—sebuah isyarat membunuh—kepada pemuda yang berdiri membela Palestina. Wajah pria itu memerah oleh amarah, tapi yang lebih menyeramkan bukanlah wajahnya, melainkan ketenangan publik di sekitarnya. Tidak ada yang menegur, malah polisi terkesan malah melindunginya Dunia telah terbiasa dengan kebencian yang tumbuh diam-diam, lalu meledak tanpa malu.

Namun, kejadian itu bukanlah insiden tunggal. Ia adalah gemeretak dari pohon tua yang akar kebenciannya ditanam sejak lama—dalam sistem, hukum, bahkan narasi kenegaraan Israel itu sendiri. Sejak awal berdirinya, Israel mengadopsi doktrin Zionisme politik yang menempatkan Yahudi sebagai bangsa pilihan, sementara yang lain dianggap tak lebih dari sebagai pengganggu. Kebencian ini bukan kebetulan emosional, tapi warisan ideologi yang sistematis dan sah secara hukum.

Hal ini tampak nyata dalam Undang-Undang Negara Yahudi (Jewish Nation-State Law) yang disahkan Knesset pada 2018, sebagaima dijelaskan oleh vox.com. Undang-undang itu mendefinisikan Israel sebagai negara eksklusif untuk Yahudi, menghapus status resmi bahasa Arab, dan secara implisit menyingkirkan hak warga Palestina yang tinggal di wilayah itu. Maka diskriminasi bukan sekadar praktik—ia dilegalkan. Supremasi ras menjadi norma, bukan penyimpangan.

Dalam psikologi sosial, fenomena semacam ini disebut institutionalized hate. Menurut American Psychological Association, ujaran kebencian yang dipelihara oleh lembaga menciptakan ketakutan kolektif, membentuk stereotip jangka panjang, bahkan melahirkan depersonalization—hilangnya empati kepada korban. Tak heran, ketika tentara Israel menembak anak-anak Palestina, sebagian warganya membenarkan tindakan itu. Seorang pemukim pernah berkata, “Kami tembak mereka sekarang, karena jika besar, mereka akan menyerang kami.” (Sumber: Kompasiana, 2024)

Bukti kebencian Israel terlihat dari intensitas bobardir yang mereka lakukan secara terang-terangan, tanpa ada rasa malu sedikitpun. Sumber: Financial Times/ Hatem Mousa/ AP

Ucapan itu bukan semata ketakutan, melainkan bentuk paranoia yang lahir dari pola pikir kolonial. Mental penjajah selalu melihat anak tertindas sebagai ancaman masa depan, bukan sebagai anak manusia. Ironi terbesar dari negara yang dibentuk “atas nama” trauma Holocaust, justru menjelma menjadi pelaku dehumanisasi atas bangsa lain. Kebencian ini bukan hanya menyakiti Palestina. Ia menyebar, menjangkiti media, pendidikan, bahkan wacana publik global.

Dari akar tersebutlah tersebar kebencian terhadap orang Arab dan Muslim meningkat tajam di Eropa dan Amerika. Islamofobia merajalela. Warga minoritas dicurigai. Banyak dari mereka menjadi target ujaran kebencian, kekerasan verbal, hingga pengasingan sosial. Laporan dari European Commission Against Racism and Intolerance (ECRI) menunjukkan lonjakan 35% serangan kebencian terhadap Muslim pasca eskalasi agresi Israel di Gaza.

Kebencian yang dibiarkan menular ini bukan hanya ancaman sosial—ia juga merusak mental masyarakat. WHO dalam laporan tahun 2023 menyebut bahwa paparan kekerasan verbal dan politik ekstrem meningkatkan risiko depresi, stres pasca-trauma (PTSD), hingga gangguan kecemasan menyeluruh. Dunia, perlahan, menjadi ladang gangguan mental massal. Faktanya, yang menyulutnya bukan hanya perang, tapi narasi yang penuh dendam.

Dalam lanskap dunia yang makin retak, banyak orang mulai sadar: kebencian bukanlah kekuatan. Ia adalah penyakit. Namun, saat dunia mencari penawar, adakah bangsa yang bisa menunjukkan bahwa hidup bukan soal membenci, tapi bertahan dengan cinta? Di sinilah, Gaza menyodorkan jawaban.

Resiliensi Palestina Adalah Obat Dunia yang Kehilangan Harapan

Lihatlah seorang pria di Gaza bernama Moayyed Harazen. Apartemennya telah hancur akibat serangan udara Israel. Atapnya jebol, temboknya retak, lantainya berserak puing. Namun suatu pagi, ia menyapu reruntuhan itu, membersihkannya sekemampuannya, membentangkan tikar kecil, dan mulai memasak makanan sederhana. Ia menyajikannya dengan tenang, duduk bersama keluarga kecilnya yang tersisa. 

Moayyed bukan satu-satunya. Rakyat Palestina telah berulang kali menunjukkan kepada dunia bagaimana mereka hidup dalam reruntuhan tanpa membiarkan hatinya ikut runtuh. Anak-anak menghafal Al-Qur’an di ruang kelas berdinding pelat baja. Para ibu membuat roti dari tepung sisa dan menyuapinya dengan senyuman. Mereka tahu bom bisa datang kapan saja. Tapi mereka juga tahu, bersyukur adalah bentuk perlawanan yang paling sunyi dan paling dalam.

Dalam wawancara dengan Stanford Muslim Mental Health Lab, psikiater muslim ternama Dr. Rania Awaad menyatakan bahwa resiliensi orang Palestina bersumber dari dimensi spiritual mereka. Menurutnya, keyakinan pada Allah dan makna hidup sebagai ujian melahirkan bentuk daya tahan yang luar biasa—yang dalam psikologi disebut meaning-centered resilience. “Iman memberi narasi. Narasi memberi makna. Dan makna memberi daya tahan,” ujarnya (Stanford MMHL).

Yusuf al-Qaradawi, dalam Iman dan Kehidupan, menulis bahwa orang beriman tidak akan jatuh dalam keputusasaan karena hatinya punya tempat bersandar. Ia tidak panik karena ia tahu semua yang terjadi tidak lepas dari pengaturan Tuhan. Maka ketika dunia berteriak dan mengutuk langit, rakyat Gaza berbisik: “حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ” — “Cukuplah Allah sebagai penolong kami.”

View this post on Instagram

A post shared by moayed harazeen (@moayed.harazen)

Kondisi ini sangat kontras dengan apa yang sedang dialami dunia. Data dari WHO dan World Economic Forum menyatakan bahwa krisis kesehatan mental pasca-pandemi COVID-19 menjadi “epidemi senyap.” Lebih dari 300 juta orang kini mengalami kecemasan kronis. Bahkan di negara maju, tingkat bunuh diri anak muda terus meningkat. Orang kehilangan makna, kehilangan arah, kehilangan pijakan dalam menghadapi ketidakpastian.

Namun rakyat Palestina, meski tinggal di medan paling tak pasti, justru menunjukkan arah. Mereka tidak menyerah pada ketakutan. Mereka tidak tenggelam dalam horor. Mereka menanam mentimun di reruntuhan, menulis puisi tentang harapan, dan berkata: “Kami tidak tahu esok bagaimana. Tapi kami tahu kami akan terus hidup sebagai manusia.”

Resiliensi ini bukan sikap pasif melainkan jihad ruhani. Ia adalah bentuk tertinggi dari keteguhan hati di tengah kekacauan. Saat ini, dunia membutuhkannya. Dunia tidak butuh lebih banyak pasukan. Dunia butuh lebih banyak jiwa seperti orang-orang Gaza—yang walau dipukul, tetap berdiri. Yang walau dirampas, tetap memberi.

Membela Palestina berarti memilih berdiri bersama manusia-manusia yang telah mengalahkan rasa takut. Mereka tidak membawa bom, mereka membawa keberanian. Mereka tidak menyebar kebencian, mereka menyebar kasih sayang. Mereka bukan radikal. Mereka adalah pengingat bahwa dunia belum sepenuhnya kehilangan fitrah.

Ketika dunia dikuasai politik ketakutan, krisis mental, dan wabah narsisme digital, Palestina datang sebagai obat. Bukan hanya untuk dunia Islam, tapi untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya karena mereka korban, tapi karena mereka telah menunjukkan bahwa manusia bisa kehilangan semuanya—tapi tidak kehilangan dirinya.

Dunia hari ini butuh Gaza bukan sebagai berita duka, tapi sebagai cermin untuk bertanya: “Apa yang membuat kita tetap manusia saat segalanya diambil dari kita?”

Tags: DemonstrasiEropaIsraelKebencian
Previous Post

Melawan Israel Sama Dengan Melawan Rasisme dan Ekstremisme

Next Post

Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

Next Post
Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Keistimewaan Masjidil Aqsha Part 1

May 29, 2024
Kabar Terkini Tentang Upaya Israel Untuk Meruntuhkan Al Aqsa

Kabar Terkini Tentang Upaya Israel Untuk Meruntuhkan Al Aqsa

January 4, 2021

Popular Post

  • Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

    Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

    307 shares
    Share 123 Tweet 77
  • Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

    306 shares
    Share 122 Tweet 77
  • Ketika Bom Menyasar Rumah Sang Penyelamat: Tragedi Keluarga Al-Najjar dan Runtuhnya Nurani Kemanusiaan

    305 shares
    Share 122 Tweet 76
  • Pelajaran Berharga Bagi Kita dari Anak-Anak Palestina

    344 shares
    Share 138 Tweet 86
  • Viral Anak-Anak SMP Bilang “Makan Daging Anak Palestina”, Apa Peran Kita Sebagai Orangtua untuk Edukasi Tentang Palestina?

    315 shares
    Share 126 Tweet 79
Damaiaqsha.com

© 2024 damaiaqsha.com

Navigate Site

  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event

© 2024 damaiaqsha.com