Melempar batu bukan hanya tindakan fisik tetapi juga gerakan yang sangat simbolis.
Melempar batu dikenal sebagai tindakan ikonik, yang telah dihubungkan dengan gerakan intifada. Dasar terjadinya Intifada terletak di transformasi sosial 1980-an dan aktivisme yang bergejolak pada 1987.
Intifada berawal dari dalam demonstrasi yang dihadiri 10ribu warga Palestina, baik orang dewasa maupun anak-anak memblokade jalan, membakar ban, serta, yang paling ikonik, melempari tentara dan penduduk Israel dengan batu dan bom molotov. Inilah Intifada (secara harfiah berarti “guncangan”)—perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel atas wilayahnya.
Selama Intifada pertama, B’Tselem menyatakan 1.070 orang Palestina dibunuh tentara Israel dan 49 lainnya mati di tangan sipil Israel.
Seiring berjalannya waktu, perlawanan intifada terus menjadi simbol perlawanan Palestina dalam menghadapi Israel.
Bertepatan pada tanggal 29 Oktober 2000, tepat satu bulan setelah pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke Haram al-Sharif, yang juga dikenal sebagai komplek Masjid Al-Aqsa, kota suci Islam. Sharon, atas perannya dalam pembantaian tahun 1982 di sebuah camp Palestina di Lebanon, memicu demonstrasi Palestina kedua.
Di antara para pengunjuk rasa adalah seorang bocah lelaki Palestina berusia 14 tahun yang melemparkan batu ke arah tentara Israel di dekat pos terdepan Yahudi di Gaza. Seorang fotografer dari The Associated Press memotret anak laki-laki itu dalam foto yang ikonik – lengan kanannya ditekuk ke belakang untuk meluncurkan batu ke arah tank Israel tepat di depannya – yang mengkristalkan semangat perlawanan mereka.
Anak tersebut bernama Faris Odeh, ia melemparkan batu selama bentrokan di titik perlintasan Karni antara Israel dan Jalur Gaza, di pinggiran Kota Gaza, pada 29 Oktober 2000. Menurut Enaam Odeh, 41, putranya Faris Odeh, adalah anak laki-laki dan ditembak mati oleh tembakan Israel pada 8 November 2000.
“Kami tidak mengirim anak-anak kami ke kematian yang mudah, tapi jika ini ditakdirkan oleh Tuhan, maka aku tidak bisa mengubahnya.” Kata Odeh.
Memang, tindakan melempar batu ke arah tentara Israel telah menjadi tindakan simbolis perlawanan bagi Palestina.
Seperti kaffiyeh, selendang Arab kotak-kotak yang terkadang digunakan orang Palestina sebagai perisai – terhadap gas air mata, dan untuk menyembunyikan identitas mereka – batu tersebut telah menjadi simbol perjuangan mereka.
Pada tahun 2013, seorang Reporter bertanya kepada seorang Palestina yang tinggal di Burj al-Barajneh di Beirut, apakah “sesuatu” bagi anak laki-laki untuk mengambil batu dan melemparkannya ke arah tentara yang secara besar-besaran mengalahkan mereka.
Dia menjelaskan, melempar batu adalah tindakan yang menentukan identitas Palestina. Intinya, menggunakan batu bukanlah untuk mengalahkan tentara Israel yang bersenjatakan senapan. Itu adalah simbol perjuangan untuk kemerdekaan Palestina.
Parlemen Israel pada tahun 2015 memilih untuk memperketat hukuman penjara bagi pelempar batu dalam upaya untuk mencegah pengunjuk rasa mengambil batu.
Lantas, pemerintah israel telah menyetujui hukuman yang lebih berat bagi pelempar batu. Ini juga diperluas dengan aturan yang membolehkan tentara menembak demonstran yang melakukan pelemparan batu.
Hingga saat ini, tentara diperbolehkan melepas tembakan hanya jika mereka dalam bahaya. Namun, karena aturan baru ini, mereka diperbolehkan menembak demonstran jika dianggap mengancam.
Dapat diperkirakan, aturan itu akan menyebabkan lebih banyak lagi pemuda Palestina yang terbunuh.
Dalam sebuah wawancara dengan Electronic Intifada, Bassem Tamimi menegaskan bahwa melemparkan batu adalah taktik yang sudah lama dipergunakan oleh Palestina di bawah pendudukan Israel. Banyak orang Palestina menganggap melempar batu terhadap tentara Israel sebagai bentuk perlawanan tanpa senjata.
Info lebih lengkap di www.damaiaqsa.com