Sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, lebih dari 13.500 anak Palestina meninggal dunia akibat genosida Israel. Dalam tragedi kemanusiaan ini, anak-anak yang tak berdosa menjadi korban. Bagi anak-anak yang masih hidup, penderitaan yang tidak terbayangkan ditanggung oleh mereka.
Bagi orang dewasa saja, trauma yang dialami sudah begitu berat. Apalagi untuk anak-anak yang masih terlalu kecil untuk menanggung beban akibat genosida. Berikut penderitaan-penderitaan yang seharusnya tidak ditanggung oleh anak-anak manapun, tapi dialami oleh anak-anak di Palestina.
Badai Kelaparan Menghantam Anak-Anak Palestina
Akibat serangan Israel yang menghancurkan berbagai fasilitas di Gaza, warga Gaza kekurangan sumber makanan. Data dari Kementerian Kesehatan Palestina menyebutkan, 23 anak di jalur Gaza Utara meninggal akibat kekurangan gizi dan dehidrasi dalam beberapa pekan terakhir, Kekurangan gizi akut ini akan semakin meningkat di wilayah utara Palestina. Menurut UNRWA, satu dari tiga anak di bawah usia dua tahun di Gaza kini mengalami kekurangan gizi akut. Bahkan, anak-anak yang mengalami kekurangan gizi tidak bisa lagi menangis, karena tidak ada lagi energi.
“Saya pernah berada di bangsal anak-anak yang menderita anemia gizi buruk yang parah, seluruh bangsal benar-benar sepi. Karena anak-anak, bayi, sampai tidak punya tenaga untuk menangis,” kata Chaterine Russel, Direktur Eksekutif UNICEF mengatakan.
Publik pernah dibuat miris dengan kondisi Yazan, penderita hydrocefalus yang dirawat di rumah sakit dengan tubuh yang sangat kurus, seperti tulang berbalut kulit. Sayangnya, Yazan yang usianya belum genap 10 tahun itu tidak terselamatkan. Yazan yang selama hidupnya mendapatkan kontrol medis dan gizi yang khusus, menurun drastis kesehatannya, sejak kepungan genosida 7 Oktober 2023 lalu. Yazan akhirnya meninggal karena kebutuhan gizi dan obat-obatannya tidak tercukupi.
Kehilangan Rumah dan Sekolah
Sebuah video menunjukkan seorang jurnalis cilik berusia 9 tahun, Lama, yang mendatangi puing-puing rumahnya yang telah hancur di Khan Younis, Gaza. Ia menunjukkan tempat tidur yang sudah hancur bersama puing-puing bangunan.
“Itu kasurku, tempat pertama kali aku merekam video,” katanya. Setelah rumahnya dibom, Lama tinggal di pengungsian Rafah, perbatasan Gaza dan Mesir.
Lama mengaku sedih melihat hasil kerja keras generasi keluarganya hancur. Di sanalah tempat ayah, paman dan kakeknya tinggal sebelum Israel meluncurkan bom. Di sanalah ia lahir dan tumbuh. Lama adalah satu dari anak yang kehilangan rumah. Tak hanya rumah, sekolah dan fasilitas lainnya juga diratakan oleh Israel dengan kejinya. Banyak anak yang luka-luka, tertimbun oleh reruntuhan bangunan. Bahkan, ada yang kehilangan bagian dari anggota tubuhnya.
Dilaporkan oleh Truthout , pada Januari 2024, 378 sekolah sudah hancur atau rusak akibat ulah Israel (76% dari seluruh sekolah di Gaza.
Terluka Parah, Hingga Kehilangan Anggota Tubuh
Lebih dari 73.000 orang terluka akibat genosida, termasuk anak-anak. Tiap harinya, kita diperlihatkan video dan gambar dari anak-anak Gaza yang terluka parah oleh bom Israel.. Pemberitaan mengabarkan anak-anak harus diamputasi anggota tubuhnya tanpa anastesi, dengan peralatan seadanya. Menurut Save the Children, diperkirakan, tiap harinya lebih dari 10 anak di Gaza kehilangan satu atau kedua kakinya di Gaza, sejak genosida terjadi.
Ali Mushtaha, usia 11 tahun, dilaporkan oleh Al Jazeera tak bisa mengenali wajahnya sendiri karena luka bakar.
“Tiap melihat wajahku sendiri, aku menangis,” kata Ali, yang rumahnya diserang oleh Israel dengan roket.
Ahmed Abu Zariaan, pada bulan Februari lalu dirawat di Rumah Sakit Eropa di Gaza Utara terbaring di kasur dengan perban menutupi wajahnya yang cacat. Anak berusia 5 tahun itu sempat tidak teridentifikasi selama lebih dari seminggu. Keluarganya tidak ada yang selamat ketika sedang dalam perjalanan mengungsi dari Gaza bagian utara, meninggalkan Ahmed seorang diri. Ahmed terus menangis dan tidak bisa bicara. Identitasnya baru dikenali oleh neneknya setelah 10 hari.
Terpisah dari Keluarga
Menurut data dari UNICEF, 17.000 anak terpisah dari keluarga dekatnya, atau hidup tanpa pendampingan mereka sejak meletusnya serangan Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Orangtua mulai menuliskan nama-nama di tubuh anak-anak mereka, agar suatu saat jika hal buruk terjadi, anak-anaknya masih bisa dikenali. Jika nama-nama tersebut tidak ada pada tubuh anak-anak yang terluka atau meninggal, biasanya petugas medis mengumumkannya melalui media sosial, sehingga kerabat dari anak-anak tersebut mendatangi mereka. Bahkan, kondisi tubuh yang terluka parah membuat keluarganya sendiri sulit mengenali identitas anak-anak yang menjadi korban.
Dalam sebuah video, terlihat kakak beradik sedang menunggu perawatan di rumah sakit, dan terkejut melihat adik kecilnya sedang terluka parah, ada di dekat mereka. Sang kakak laki-laki menghampiri adiknya dan menangis. Kakaknya yang perempuan bahkan tidak memiliki tenaga untuk berjalan menghampiri adik kecilnya.
Dari banyaknya anak yang terpisah dengan keluarganya, banyak pula anak yang kehilangan orangtuanya yang sudah syahid terlebih dahulu akibat bom dari Israel.
Anak-Anak Palestina Alami Trauma Berat
Penderitaan yang begitu berat ditanggung warga Palestina tidak bisa digambarkan. Jika bagi orang dewasa saja trauma yang dialami sudah sangat mengerikan, bagaimana dengan anak-anak? Genosida yang sangat keji ada di hadapan anak-anak Gaza. Anak-anak setiap harinya melihat mayat-mayat yang tertimbun di bawah reruntuhan bangunan, termasuk anak-anak sendiri yang menjadi korban. Seorang anak menangis menceritakan bahwa ia membawa jasad ayahnya yang tanpa kepala. Tidak ada seorang anak pun yang bisa menanggung trauma seberat itu.
Menurut Save the Children, bahkan sebelum 7 Oktober, anak-anak di Gaza hidup dengan kesehatan mental yang sangat buruk karena eskalasi kekerasan yang terus meningkat, dampak dari blokade termasuk pembatasan kebebasan bergerak dan akses ke layanan-layanan penting, keruntuhan ekonomi, dan perpisahan dengan keluarga dan teman.
Orang-orang yang disurvei untuk laporan terbaru mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan kemerosotan kesehatan mental anak-anak yang jauh lebih buruk daripada selama eskalasi kekerasan sebelumnya, muncul dalam rasa takut, cemas, makan yang tidak teratur, mengompol, waspada yang berlebih (hyper-aware), gangguan tidur, serta perubahan perilaku seperti perubahan gaya kelekatan dengan orang tua, kemunduran, dan agresi.
Para orang tua dan pengasuh mengaku bahwa anak-anak sudah sulit untuk membayangkan masa depan. Seorang ayah, Samer, menuturkan bahwa anak laki-lakinya pernah bercita-cita menjadi insinyur, dan satu lagi ingin menjadi polisi. Sekarang, salah satunya ingin menjadi pengemudi kereta keledai, karena ia melihat realita di depannya. Anak yang satu lagi, ingin menjual biskuit di depan rumah.
Hak-Hak yang Seharusnya didapatkan Anak
Penderitaan-penderitaan yang dialami anak-anak Palestina sangat bertentangan dengan hak-hak anak yang seharusnya didapatkan. Anak-anak secara normal tidak seharusnya mendapatkan beban yang sangat berat. Berikut hak-hak anak yang diakui secara internasional dan nasional, dikutip dari kec-jetis.bantulkab.go.id
- Hak Mendapatkan Identitas
- Hak untuk Mendapatkan Pendidikan
- Hak untuk Bermain
- Hak untuk Mendapatkan Perlindungan
- Hak untuk Rekreasi
- Hak untuk Mendapatkan Makanan
- Hak untuk Mendapatkan Jaminan Kesehatan
- Hak untuk Mendapatkan Status Kebangsaan
- Hak untuk Turut Berperan dalam Pembangunan
- Hak untuk Mendapatkan Kesamaan
Anak-anak Palestina tidak bisa dibedakan dengan anak-anak lain dari seluruh penjuru dunia. Tidak ada cara lain untuk melindungi anak-anak Palestina, Israel harus menghentikan aksi kejinya kepada Palestina. Tidak ada yang bisa dimaklumkan dari perbuatan Israel. Kita harus aktif menyuarakan kebebasan Palestina, berdonasi kepada Palestina, mendoakan mereka, dan memboikot produk-produk yang mendukung persenjataan Israel.