Damai Aqsha – Lagi-lagi upaya gencatan senjata antara Palestina dan Israel menemui jalan buntu. Pasalnya, Israel tiba-tiba menganulir secara sepihak salah satu poin yang sudah disepakati sebelumnya.
Sebagaimana dipublikasikan oleh middleeastmonitor.com, Poin yang dimaksud adalah bahwa Israel bersedia menarik pasukannya dari perbatasan Mesir – Gaza Selatan, Palestina sepanjang 14,5 km yang disebut “Koridor Phidadelphi”.
Delegasi Israel dilaporkan, malah mengusulkan pengerahan Kembali pasukannya di Jalur Gaza, bahkan menyebarkannya di 12 titik, yang sebagian besarnya di Gaza Utara, sisanya di Netzarim.
Itu artinya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Pejuang Palestina, Israel telah “mengurai kembali” kesepakatan yang sudah disimpulkan pada 2 Juli 2024. Bahkan, mereka mengatakan, jika Israel tidak henti-hentinya menculik warga Palestina, saat mereka dalam perjalanan kembali menuju Gaza Utara.
“Kami tidak akan menerima diskusi tentang pencabutan dari apa yang kami sepakati pada 2 Juli atau kondisi baru,” kata perwakilan Pejuang Palestina, Osama Hamdan kepada kelompok tersebut di TV Al-Aqsa pada hari Ahad, 25 Agustus 2024 lalu.
Gencatan Senjata “ala” Israel
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “gencatan” artinya penghentian”. Maka, instilah “gencatan bersenjata” dapat didefinisikan sebagai penghentian tembak-menembak (terkait perang) untuk sementara waktu, dimana kedua belah pihak sepakat menghentikan tindakan-tindakan agresif masing- masing”.
Kenyataannya, mengutip metrotvnews.com, meski gencatan senjata sudah disepakati, pada Mei 2024 lalu, Israel tetap melakukan pembantaian pada masyarakat sipil di Rafah. Sebgaimana kita ketahui, Rafah saat itu merupkan tempat konsentrasi pengungsi warga sipil Palestina. Terang-terangan, mereka menyerang dari udara maupun menggunakan tank. Pada saat itu, 54 orang syahid dan 96 menderita luka.
Sayangnya, sampai saat ini, hukum humaniter internasional tidak mengatur secara khusus soal apa saja yang harus ada dalam kesepakatannya, maupun bagaimana cara menerapkannya. Baru dalam 50 tahun terakhir ini saja gencatan senjata menjadi terminologi yang biasa digunakan dalam fenomena-fenomena terkait peperangan. Serangkaian terminologi baru juga acap kita gunakan untuk menggambarkan “gencatan senjata”. Maknanya antara lain:
- penghentian pertikaian
- jeda kemanusiaan
- daerah-daerah yang dikenakan de-eskalasi
- hari-hari tenang (jeda dalam pertempuran guna dilakukannya imunisasi bagi anak-anak)
- zona aman dan koridor yang aman
- keheningan sejenak (salah satu istilah yang digunakan untuk gencatan senjata 2014 di Ukraina).
Celah ini, kemudian yang dimanfaatkan rezim pemerintah Israel saat ini sehingga mereka tetap menyerang warga sipil Palestina.
Konflik Internal Israel
Yang perlu kita ketahui, ternyata poilitik dalam Negeri Israel tidak sedang baik-baik saja. Belakangan, mengutip middleeastmonitor.com, “duo bengis” Israel, Perdana Menteri Israel, Netanyahu dan Menteri Pertahannya, Yoav Gallant disinyalir mulai mengalami konflik. Netanyahu menolak usulan Gallant dan orang-orangnya di Kementerian, untuk menarik pasukan Israel dari daerah perbatasan selatan Jalur Gaza.
Sementara Gallant mencemooh ceramah soal pengetatan anggaran Netanyahu yang sering mengatakan “kemenangan total” di Gaza. Dia mengatakan penyataan tersebut sebagai omong kosong.
Namun, kondisi politik Israel saat ini, terutama sejak serangan 7 Oktober, membuat keduanya “terkunci bersama”. Netanyahu tak bisa memecat Gallant. Namun, di balik itu, pada Juni 2024 lalu, Netanyahu kembali mengeluarkan pernyataan yang membela dirinya terkait skandal pembelian kapal Angkatan Lali bernilai US$ 2 Miliar. Pernyataan tersebut ia keluarkan tak lama setelah tim penyelidik pemerintahan Israel atas dugaan skandal korupsi mengirim surat pada dirinya. Sebagaimana diungkapkan voaindonesia.com.
Gallant sempat dipecat beberapa waktu lalu, namun kembali ditarik setelah ada demonstrasi terbesar dalam sejarah Israel. Dia beralasan, keluarnya dia dari kabinet hanya akan mengakibatkan perpecahan sehingga membahayakan keamanan nasional.
“Tidak ada kemungkinan dia akan pergi.” kata Gayil Talshir, seorang spesialis dalam politik Israel di Universitas Ibrani Yerusalem.
Kebuntuan itu juga, sebagian disebabkan oleh komposisi koalisi sayap kanan dalam pemerintahan Netanyahu setelah pemilihan 2022 yang bergantung pada dua partai agama nasionalis yang dipimpin oleh Menteri garis keras, Bezalel Smotrich dan Itamar Ben-Gvir.
Tanpa dukungan mereka, pemerintah akan jatuh, membiarkan mereka bebas untuk menyuarakan permusuhan mereka kepada Gallant dan lainnya di pendirian pertahanan yang mereka anggap terlalu lunak pada Palestina, terutama pada Hamas. Intinya, Netanyahu takut jika dirinya akan jadi bulan-bulanan rakyat dan politis pengusungnya jika Gallant keluar dari kabinet.
Belum lagi, kedua pria itu menghadapi ancaman surat perintah penangkapan internasional atas apa yang mereka lakukan di Gaza setelah mencuatnya tuntutan Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional pada Mei lalu. Sampai hari ini (Kamis 5 September 2024) Kementerian kesehatan Palestina mengatakan, serangan Israel sudah menewaskan lebih dari 40.000 dan melukai 94.000 lebih orang Palestina.
Akibat ancaman tersebut, sebagaimana dikutip oleh cnbcindonesia.com, dalam lawatannya pada Juli 2024 lalu, Netanyahu sampai enggan singgah di Eropa. Stasiun radio Israel, Reshet Bet, melaporkan Netanyahu mempertimbangkan berhenti di negara-negara yang bersahabat dengan Israel, namun menghindari negara-negara yang mungkin menerapkan surat perintah penangkapan tersebut.
Dengan kondisi tersebut, pantaslah jika pemimpin Perjuangan Hamas bersikukuh dengan apa yang mereka perjuangkan, yakni kemerdekaan mutlak Palestina. Bagaimanapun, Netanyahu takkan pernah melakukan gencatan senjata, sebagaimana pernah ia ungkapkan sendiri, “Tiada gencatan senjata di Gaza sampai Hamas (baca: rakyat Pelestina) hancur”.