Israel dan Palestina merupakan dua negara
yang sudah lama terlibat perselisihan. Sudah hampir 7 dekade perselisihan ini
tidak berujung. Pokok utama dalam masalah ini adalah adanya perampasan
kedaulatan Palestina. Antara kedua bangsa ini saling mengklaim berhak atas
kedaulatan wilayah Palestina.
Berbagai cara dilakukan agar bisa
meyakinkan masyarakat Internasional dan mendapat legalitas hukum atas wilayah
yang selama in diperebutkan. Terjadinya perselisihan ini sangat bertolak
belakang dengan cita-cita yang dituju oleh hukum.
Kasus ini pernah memuncak pada tahun 2017
saat terjadi tindakan provokatif yang dilakukan oleh pihak ketiga. Amerika
Serikat yang dipimpin oleh Donald Trump mengumumkan terkait pengakuan Yerusalem
sebagai Ibu Kota Israel. Aksi yang dilakukan Donald Trump
menimbulkan penolakan dari mayoritas masyarakat internasional.
Perampasan
Kedaulatan Palestina
Konflik Palestina dan Israel hingga kini
tak kunjung usai. Bahkan bisa dibilang sedang memasuki babak baru akhir-akhir
ini. Telah muncul rencana yang telah lama dinantikan oleh bangsa Israel yaitu
aneksasi wilayah Tepi Barat.
Rencana ini telah dibahas dan dicetuskan
pada 1 Juli 2020. Namun, hal ini banyak terjadi penolakan oleh berbagai pihak.
Mulai dari lembaga internasional, regional hingga sebagian besar negara-negara
sebagai entitas tidak setuju dengan rencana yang diajukan. PBB juga mendesak
Israel untuk mengurungkan pencaplokan wilayah tersebut.
Pada saat itu Sekretaris jenderal PBB
Antonio Guterres menegaskan bahwa aneksasi merupakan tindakan yang ilegal. Ia
juga mengatakan perbuatan itu telah melanggar sejumlah kesepakatan
internasional yang telah tercapai selama ini.
“Jika diimplementasikan, pencaplokan
kedaulatan wilayah Palestina tersebut akan menjadi sebuah pelanggaran paling
serius terhadap hukum internasional. Tentunya dalam hal ini akan sangat merugikan
prospek Solusi Dua Negara serta melemahkan
kemungkinan pembaharuan
perundingan” ujar Gutteras dalam acara pertemuan Dewan Keamanan PBB saat
akhir Juni 2020 lalu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
sempat tak gentar. Ia selalu berlindung pada sebuah Kesepakatan Abad ini yang
telah digagas oleh Donald Trump, Presiden Amerika Serikat. Perdana Menteri
Israel menyebutkan bahwa pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat adalah
kelanjutan dari kesepakatan Abad tersebut. Hal ini dianggap sebagai perampasan
kedaulatan Palestina.
Hingga kini rencana aneksasi masih
ditangguhkan secara formal. Hal ini disebabkan karena Amerika Serikat belum
memberikan jalan serta masih berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan.
Resolusi 181
Palestina tentu menjadi pihak yang sangat
tidak setuju dan paling menolak keras aras rencana aneksasi tersebut. Zuhair
al-Shun selaku Duta Besar Palestina untuk Indonesia menyerukan giat penolakan
terhadap penjajahan yang dilakukan Israel. Ia menyatakan Palestina akan
mendesak Israel untuk tunduk pada saat Resolusi 181.
Sampai saat ini ia menganggap bahwa Israel
tidak mematuhi Resolusi 181. Hal ini membuat Israel sebagai negara yang
meremehkan komunitas Internasional. Resolusi 181 merupakan rencana pembagian
Palestina. Dikeluarkan oleh PBB pada akhir tahun 1947.
Hal yang mendasari perampasan kedaulatan
Palestina adalah perebutan wilayah. Yerusalem merupakan wilayah yang selama ini
diperebutkan oleh Palestina dan Israel. Masing-masing negara mengklaim bahwa
Yerusalem adalah milik mereka. Padahal sudah tertulis pada bagian III Resolusi
181 bahwa Yerusalem merupakan pemerintahan Khusus.
Sikap Indonesia Terhadap Aneksasi
Bahkan wakil ketua Komisi I DPR RI juga
mengambil sikap tegas dalam penolakan aneksasi Tepi Barat. Mereka menolak upaya
legalisasi penjajahan Israel atas Palestina. Hal ini
tentunya dengan alasan yang sama yaitu akan menambah daftar pelanggaran hak
asasi manusia di Palestina.
Kharis selaku wakil Ketua Komisi I DPR RI
mengatakan okupasi wilayah militer Israel atas Tepi Barat tidak hanya
melibatkan Israel dan Palestina. Tetapi juga akan
mempersulit penyelesaian konflik Palestina-Israel.
Banyak harapan yang disampaikan terkait
perampasan kedaulatan Palestina ini. Perlu adanya pengoptimalan diplomasi
secara bilateral maupun multilateral untuk melakukan penolakan.