Dalam dokumen resmi PBB disebutkan bahwa
pada tahun 1947, Special Committee on Palestine (UNSCOP) yang dibentuk
untuk menyelesaikan masalah Palestina (yang saat itu berada di bawah
kekuasaan/mandat Inggris) memutuskan untuk membagi 3 wilayah tersebut, 56%
untuk warga Yahudi, 44% untuk warga Arab, dan kota Yerusalem menjadi wilayah
internasional.
Saat itu, delegasi Yahudi menerima tapi
keberatan atas jumlah wilayah yang diberikan kepada mereka (ingin lebih luas
lagi), sementara delegasi Palestina dan delegasi negara-negara Arab menolaknya,
dengan alasan: melanggar Piagam PBB yang menjamin hak setiap orang untuk memutuskan
nasibnya sendiri.
Meskipun ada penentangan dari pihak
Palestina dan negara-negara Arab lainnya, Resolusi Pembagian Wilayah (UN
Partition Plan 1947) tetap disahkan (33 suara setuju, 13 menolak, 10
abstain). Dari banyak sumber yang lain disebutkan bahwa AS telah memberikan
‘tekanan yang sangat besar’ kepada negara-negara Amerika Latin agar menyetujui
resolusi ini, mereka pun terpaksa setuju karena kuatir kehilangan bantuan dari AS.
Pertanyaannya tentu saja, yang berjanji sejak awal kepada komunitas Yahudi
Inggris untuk memberikan tanah Palestina menjadi negara khusus Yahudi adalah
Inggris (baca Deklarasi Balfour 1917), lalu mengapa Pemerintah AS yang
paling berperan dalam proses pengesahan resolusi 181? Jawabanya adalah karena
pasca PD II, memang AS-lah negara terkuat saat itu.
Ketika akhirnya PBB meloloskan Resolusi
181 yang membagi dua Palestina, dorongan bahwa kaum Yahudi harus menunjukkan toleransi
dan tenggang rasa kepada orang lain di Palestina yang menjadi tetangganya
sangat kuat dari berbagai negara.
Tentu saja, pesan itu tidak diindahkan sama
sekali. Tak butuh waktu lama setelah resolusi 181 disahkan pada bulan November
1947, milisi Yahudi, antara lain Irgun dan Haganah, langsung bergerak melakukan
pembersihan etnis di kawasan yang jadi ‘jatah’ Israel dengan cara-cara yang
amat brutal. Pembersihan tersebut mengakibatkan terbunuhnya ribuan rakyat
palestina yang tidak berdosa.
Situasi semakin lama semakin memburuk, sehingga
Dewan Keamanan PBB kemudian bersidang pada 16 April -14 Mei 1948 untuk mengupayakan
gencatan senjata. Namun hasilnya adalah: tepat pada 14 Mei 1948, Inggris
melepaskan kekuasaan/mandatnya atas Palestina, dan di hari yang sama, agen
Yahudi (Jewish Agency) mendeklarasikan berdirinya Israel. Sehari setelah
deklarasi, negara-negara tetangga Palestina mengirim tentaranya untuk ‘membantu
saudara-saudara Arab’ mereka. Perang ini yang kemudian disebut sebagai “Perang Kemerdekaan”
oleh Israel, sehingga memunculkan opini bahwa merekalah yang terjajah, lalu perang,
dan akhirnya merdeka. Tanggal 14 Mei (hari proklamasi Isreael) juga disebut
Hari “Kemerdekaan”. Namun, dalam proses perang Arab-Israel 1948 ini, yang
terjadi malah pengkhianatan. Raja Abdullah dari Jordan ternyata pernah berjanji
kepada Inggris bahwa ia tidak akan mengganggu Israel. Jordan sebenarnya
memiliki militer terkuat dibanding Mesir, Irak, dan Syria. Kalau mau, ia bisa menang perang. Namun, Jordan hanya
berperang ecek-ecek, dan malah akhirnya menduduki Tepi Barat. Di akhir perang,
Mesir menduduki Gaza dan Syria menduduki Golan. Sebaliknya, ‘perang’ ini dimanfaatkan
menjadi dalih bagi Israel untuk merangsek ke wilayah-wilayah Palestina,
sehingga akhirnya menduduki 60% wilayah yang semula jatah Palestina.
Akibat perang ini, menurut dokumen PBB,
telah terjadi krisis kemanusiaan yang besar, yang mengakibatkan 750.000 warga
Palestina terusir dari kampung halamannya sendiri. Terdampar tidak memiliki
tempat tinggal yang jelas. Kejadian ini yang kemudian mendorong PBB bersidang
lagi pada Desember 1948 dan merilis Resolusi 194 yang memberikan ‘hak kembali’
kepada para pengungsi Palestina, atau, untuk yang tidak mau kembali, harus
diberi ganti rugi atas properti mereka yang kini dikuasai para imigran. Namun
resolusi ini tidak pernah ditaati Israel. Hingga hari ini, mereka masih jadi
pengungsi yang tersebar di berbagai negara. Jadi, Palestina memang sejak awal bisa
dikatakan telah dikhianati saudara-saudara Arabnya (kecuali Syria) dan komunitas
internasional (yang menyatakan setuju atau abstain atas Resolusi 181/1947).
Menariknya, perang Arab-Israel 1948 ini
sering dijadikan ‘bukti’ dari keterzaliman Israel. Propaganda ini secara masif
disebarluaskan oleh mesin-mesin propaganda Zionis dengan memanfaatkan jaringan
media mainstream dunia dikuasai oleh pengusaha-pengusaha pro-Zionis.
Rekayasa seperti itu merupakan bentuk
penjajahan kemanusiaan yang paling ekstrem. Bagaimana tidak, Mereka itu
pendatang (Yahudi) yang membeli tanah dengan ukuran kecil, lalu memaksa untuk mendirikan
negara di atasnya dan mengganggu sampai membantai tetangga-tetangganya.
Sayangnya, masyarakat dunia sudah
termakan propaganda kaum yahudi yang seolah-olah pembunuhan dan pengusiran
orang palestina adalah upaya Israel untuk merebut kembali tanah hak mereka
dengan segala cara yang tidak manusiawi.
Kita mungkin sulit untuk membayangkan
bagaimana penderitaan saudara kita yang bertahun-tahun dalam pengungsian dalam
kondisi tertekan jiwa dan raga tanpa ada waktu jelas mau sampai kapan. Kita
harus hadir sebagai bagian dari satu tubuh “Umat Muslim” dengan merasakan serta
membantu keberlangsungan hidup saudara kita disana.
Waalahu’alam..
Sumber: Indonesia Center For Middle
East Studies-ICMES