• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Wednesday, June 18, 2025
Damaiaqsha.com
  • Login
  • Register
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
Damaiaqsha.com
No Result
View All Result
Home Kemanusiaan

Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

Selayaknya Idul Adha, semua yang mampu wajib berkurban. Namun, warga Gaza bukannya berkurban kambing atau sapi, namun seluruh harta, bahkan jiwa mereka sendiri

Damai Aqsha by Damai Aqsha
June 4, 2025
in Kemanusiaan
0
Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

Warga Palestina bergotong royong mengevakuasi korban tewas dan luka akibat serangan Israel ke Palestina. Foto: CNN Indonesia/AFP/MAHMUD HAMS

307
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Damai Aqsha – Hari raya yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan umat Muslim, di Gaza justru diawali dengan suara bom. H-1 Idul Adha, saat kita berpuasa satu hari, mereka sudah “berpuasa” berbulan-bulan tanpa berbuka. Kain ihram yang digunakan para jama’ah haji tahun ini, berganti kafan. Di jalan-jalan sempit yang dulu menjadi tempat anak-anak berlari sambil membawa balon, kini hanya ada puing bangunan dan genangan darah.

Tanggal 1 Juni 2025, pasukan Israel menembaki antrean warga di pusat distribusi makanan di Rafah. Padahal saudara kita hanya ingin mendapatkan jatah makan untuk keluarganya. Serangan itu menewaskan 21 orang dan melukai 158 lainnya (Arabifactshub, 2025). Beberapa hari kemudian, pada 2 Juni, sebuah serangan udara menghantam kamp pengungsi Jabaliya dan menewaskan 14 orang, termasuk 7 anak-anak (Al Jazeera, 2024).

Data dari OCHA menyebutkan bahwa lebih dari 54.000 warga Palestina terbunuh sejak Oktober 2023, dengan lebih dari 17.000 di antaranya adalah anak-anak. Jumlah itu belum termasuk korban kelaparan dan penyakit, yang diperkirakan mencapai 80.000 lebih menurut The Lancet (ReliefWeb, 2025). Bagi banyak keluarga di Gaza, Idul Adha 2025 bukan tentang penyembelihan hewan, tetapi kehilangan nyawa orang-orang tercinta.

Sangat sulit membayangkan di sana ada tumpukan daging sapi dan daging kambing, apalagi bakar sate bersama sanak saudara. Hanya sajadah lusuh, pasir, dan do’a. Tahun lalu, di tengah reruntuhan masjid dan rumah yang rata dengan tanah, warga Gaza tetap berusaha shalat Ied, meski harus berwudhu dengan air yang nyaris tak ada, dan salat di atas debu dan pecahan tembok.

Tradisi menyembelih kurban, yang dulu menjadi simbol kegembiraan anak-anak, kini tinggal ingatan. Seorang ibu di Rafah berkata, “Kami hanya ingin anak-anak kami makan daging sekali saja di hari raya.” Namun, bukan itu yang mereka dapatkan. Mereka malah kehilangan anak-anak mereka sebelum sempat merasakan kebahagiaan itu (Kompas, 2024).

Salah satu kisah paling memilukan datang dari Nadia Hamouda, seorang ibu di Deir al-Balah yang kehilangan anaknya dalam serangan udara. Tahun ini, ia tidak bisa berkurban, tidak bisa memasak daging, bahkan tidak punya rumah untuk kembali. “Setiap kali dengar azan, yang teringat hanya anak saya,” katanya lirih.

Harga sapi di Gaza melonjak hingga 500 persen. Jika dulu seekor kambing bisa dibeli dengan harga sekitar Rp3 juta, kini harganya mencapai lebih dari Rp20 juta—dan itu pun jika ada (Middle East Monitor, 2025). Hampir semua peternakan telah hancur. Menurut peternak lokal Abu Hatim Al-Zarqa, 99% hewan ternak mati atau dijual untuk bertahan hidup.

Keluarga Abdelsattar al-Batsh bahkan sudah menabung untuk membeli kambing sebelum perang. Namun saat ini, mereka hanya bisa bertahan hidup dengan roti kering dan air kotor. “Impian kami untuk memasak daging kurban tahun ini tidak mungkin terwujud,” katanya. Rumah mereka hancur, sebagian anggota keluarga tewas, dan daging menjadi kemewahan yang mustahil.

Antrean panjang terjadi bukan di tempat penyembelihan hewan, tapi di depan dapur umum dan titik distribusi makanan. Di Rafah, tempat pembagian makanan pun dibombardir. Palang Merah menyebut luka-luka warga akibat pecahan peluru dan tembakan tajam—bukan akibat kerusuhan, tetapi ketika mereka hanya ingin makan.

Tradisi yang dulu dijaga dengan khidmat kini hanya tinggal serpihan. Tidak ada iringan takbir dari masjid, hanya sirene ambulans. Tidak ada aroma daging bakar, hanya bau mesiu dan debu. Beberapa keluarga hanya bisa menyalakan dupa, bukan untuk menyambut tamu, tapi untuk mengenang yang telah tiada.

Menurut laporan UNRWA, lebih dari 80% lahan pertanian Gaza rusak total. Produksi pangan lokal nyaris nol. Dengan blokade ketat, tidak ada distribusi hewan kurban yang bisa masuk ke Gaza (UNRWA Report, 2025).

Salat ‘Ied yang biasa dilakukan di masjid agung kini digelar di antara puing bangunan. Warga menggunakan terpal dan kardus sebagai alas, sementara anak-anak berdiri tanpa sepatu, memandangi langit seolah menunggu keajaiban. Takbir tetap dilantunkan—bukan karena kemenangan, tapi karena keimanan yang enggan menyerah.

Foto-foto dari Rafah dan Khan Younis memperlihatkan pemandangan yang menghantui. Seorang kakek menyalatkan jenazah cucunya di tempat yang dulunya adalah masjid. Seorang remaja berdiri memeluk foto keluarganya sambil menatap kamera. Tak ada daging. Tak ada baju baru. Tak ada perayaan. Hanya duka yang dijahit dengan doa.

Kurban Tanpa Daging Hewan, Berganti Jiwa Manusia

Hewan Kurban yang terpaksa harus disalurkan melalui terowongan bawah tanah akibat blokade Israel pada beberapa tahun lalu. Sumber: harapanumat.sch.id

Tidak hanya rumah-rumah yang dihancurkan Israel. Bahkan ibadah pun diblokade. Sejak awal Juni 2025, otoritas Israel menutup sepenuhnya akses Kerem Shalom—satu-satunya jalur darat untuk memasukkan bantuan dan barang ke Gaza (DW, 2025).

Alasannya tetap sama: keamanan. Seorang pejabat militer Israel mengklaim bahwa “bantuan kemanusiaan bisa dimanfaatkan Hamas untuk menyelundupkan senjata.” Dalih ini digunakan bukan hanya untuk menolak masuknya bahan pangan, tetapi juga untuk melarang distribusi hewan kurban yang selama ini dikirim dari Mesir, Yordania, dan Turki.

Lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Dompet Dhuafa, Adara Relief, dan Wakaf Warrior berjuang mengakali situasi. Beberapa di antaranya menyembelih hewan di luar Gaza, lalu mengalengkan atau membekukan daging, untuk kemudian dikirim ke Rafah melalui jalur darurat. Tapi jumlahnya sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan dua juta jiwa (Dompet Dhuafa, Wakaf Warrior).

Dalam kondisi seperti ini, ayat suci menjadi pengingat. 

(QS. Al-Hajj: 37) “لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ 

Allah tidak membutuhkan darah dan daging kurban kita, tapi ketakwaan. Di Gaza, ketakwaan bukan lagi soal menyembelih kambing—tetapi tentang bertahan hidup sambil tetap menjaga iman (Kemenag).

Warga Gaza telah mempersembahkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada kambing atau sapi. Mereka telah mempersembahkan rumah mereka, masa depan anak-anak mereka, dan bahkan tubuh mereka sendiri. Kurban mereka bukan hanya ritual, tapi eksistensi. Di tengah dunia yang makin tuli, Gaza terus mengirimkan takwa, bahkan dari tanah yang dibungkam.

Apa makna kurban jika penjajah menentukan siapa yang boleh menyembelih dan siapa yang boleh makan? Kurban seharusnya menjadi lambang pengorbanan dan cinta kepada Tuhan. Tapi di Gaza, ia telah direduksi menjadi pertanyaan tragis: apakah warga boleh hidup cukup lama untuk bisa menyembelih?

Meski begitu, masih ada yang bertahan. Tim kemanusiaan Indonesia dari Adara Relief berhasil masuk ke Rafah melalui jalur terbatas dan menyalurkan sebagian daging kaleng hasil kurban dari masyarakat Indonesia (Liputan6, 2025). Tapi jumlahnya masih jauh dari mencukupi. Sementara itu, pusat bantuan GHF buatan AS dan Israel justru menimbulkan kontroversi: dianggap alat propaganda dan gagal menyentuh akar krisis (Kompas Video).

Ketimpangan global begitu telanjang. Saat warga Jakarta, Istanbul, dan Doha memposting foto-foto penyembelihan hewan kurban dengan daging melimpah, warga Gaza hanya bisa memposting puing dan kenangan. Idul Adha mereka bukan perayaan, tapi penguburan.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa mulai dari hal yang kecil tapi konkret: memastikan kurban kita disalurkan melalui lembaga yang terpercaya, mendukung media independen yang melaporkan kondisi Gaza, atau menyuarakan hak mereka di ruang publik. Solidaritas bukan hanya soal empati, tapi tentang partisipasi.

Kurban kita di Indonesia mungkin tidak sampai langsung ke Gaza, tapi nilai kurbannya bisa. Karena selama kita masih percaya bahwa darah bukan satu-satunya bentuk pengorbanan, maka doa, suara, dan keberpihakan kita tetap berarti. Setiap potong daging yang kita niatkan untuk mereka, adalah penegasan bahwa Gaza tidak sendiri.

Bangsa Palestina telah mempersembahkan kurban terbesar: tanah, darah, dan martabat. Sebuah pengorbanan yang seharusnya membangkitkan kesadaran kolektif umat Islam di seluruh dunia. Jika mereka masih bisa bertakbir di tengah reruntuhan, apakah kita akan terus berpura-pura tidak melihat?

Ayat itu kembali bergema: “Bukan darah dan daging yang sampai kepada Allah, tapi ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37). Gaza telah lebih dulu memberi takwanya. Kini giliran kita. Bukan hanya dengan kambing atau sapi, tapi dengan hati yang bersuara, tangan yang bergerak, dan lidah yang tak lagi membisu.

Tags: Gazaidul adhaKemanusiaankurban
Previous Post

Membela Palestina, Menjaga Warasnya Kemanusiaan dari Virus Kebencian asal Israel

Next Post

Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

Next Post
Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Saudi Tegaskan Kembali Dukungan untuk Rakyat Palestina

Saudi Tegaskan Kembali Dukungan untuk Rakyat Palestina

September 17, 2020
Al- Quran Dipelukan Anak Yatim di Palestina

Al- Quran Dipelukan Anak Yatim di Palestina

May 29, 2024

Popular Post

  • Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

    Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

    307 shares
    Share 123 Tweet 77
  • Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

    306 shares
    Share 122 Tweet 77
  • Ketika Bom Menyasar Rumah Sang Penyelamat: Tragedi Keluarga Al-Najjar dan Runtuhnya Nurani Kemanusiaan

    305 shares
    Share 122 Tweet 76
  • Pelajaran Berharga Bagi Kita dari Anak-Anak Palestina

    344 shares
    Share 138 Tweet 86
  • Viral Anak-Anak SMP Bilang “Makan Daging Anak Palestina”, Apa Peran Kita Sebagai Orangtua untuk Edukasi Tentang Palestina?

    315 shares
    Share 126 Tweet 79
Damaiaqsha.com

© 2024 damaiaqsha.com

Navigate Site

  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event

© 2024 damaiaqsha.com