Damai Aqsha – Di balik kepulan asap yang menutupi langit Gaza, dunia menyaksikan peristiwa paling memalukan dalam sejarah kemanusiaan modern. Sejak 23 Oktober 2023 hingga 14 April 2025, lebih dari 50.800 warga Palestina telah tewas akibat agresi brutal Israel, sebagaimana dilaporkan oleh Anadolu Agency. Dari angka itu, mayoritas adalah perempuan, anak-anak, dan lansia. Sementara itu, lebih dari 700 tentara Israel juga kehilangan nyawa dalam misinya “memburu teroris”, sebuah istilah yang merujuk pada bayi dan balita. Tak kurang dari tiga miliar dolar telah dibakar untuk mewujudkan genosida ini, namun bagi Benjamin Netanyahu, “semua baru permulaan”.
Di balik dalih membela diri, kekuasaan dan kerakusan telah merampas akal sehat bangsa yang dahulu dihimpun oleh luka diaspora. Hewan buas akan berhenti saat kenyang, namun manusia—yang sudah kerasukan jiwa serakah kekuasaan dan tanah—tak pernah cukup dengan darah. Kebenaran ditundukkan dengan mesin propagandanya, hingga luka Palestina tak mampu berubah dari sekadar angka yang dingin di layar statistik dunia. Namun, kita harus tetap ingat, nyawa bukan angka, dan genosida bukan sekadar berita. Ini adalah teriakan nurani yang mesti kita lampiaskan.
Dalam 18 bulan terakhir, Gaza telah menjadi kuburan massal di bawah langit terbuka. Lebih dari 50.800 warga Palestina dibunuh dalam serangan besar-besaran Israel dimulai Oktober 2023. Jika ditarik lebih jauh sejak penjajahan 1948, tentu jauh lebih banyak dari itu warga Palestina telah meregang nyawa. Tanpa malu, para penjajah melakukannya atas nama keamanan, semua dibenarkan oleh suara yang keras dari mulut-mulut para pemimpin Israel, sementara dunia bertekuk lutut, bisu.
Pada 13 April 2025, dunia dikejutkan oleh pemboman Rumah Sakit Baptis Al-Ahli di Gaza, yang merupakan rumah sakit terakhir yang dapat beroperasi penuh di Gaza. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan mereka menargetkan rumah sakit tersebut karena rumah sakit tersebut berisi “pusat komando dan kendali yang digunakan oleh Hamas”. Tidak ada korban yang dilaporkan, menurut layanan darurat sipil Gaza. Namun, seorang anak, yang sebelumnya menderita cedera kepala, meninggal akibat “proses evakuasi yang terburu-buru”, menurut pernyataan dari Keuskupan Episkopal Yerusalem, bagian dari Gereja Anglikan, yang mengelola rumah sakit tersebut. Bangunan-bangunan di sekitarnya, termasuk gereja St Philip, juga rusak, kata keuskupan.
BBC melaporkan bahwa ledakan terjadi sekitar pukul 19.00 waktu setempat, menyebabkan kobaran api besar dan kematian massal. Israel berdalih bahwa ledakan berasal dari roket milik faksi Palestina yang gagal meluncur, namun investigasi independen menyatakan arah dan dampak ledakan berasal dari rudal Israel.
Lebih menyayat lagi, banyak keluarga yang harus mengumpulkan serpihan tubuh orang yang mereka cintai dengan kantong plastik. Serangan Israel pada sebuah sekolah di Gaza mengakibatkan jasad para korban tercerai-berai, hingga masyarakat sipil hanya bisa mengumpulkan potongan tubuh dengan peralatan seadanya. Bukti kebiadaban ini dimuat oleh Middle East Monitor dan Anadolu Agency, menampilkan gambar-gambar memilukan yang tak akan pernah bisa dihapus dari ingatan nurani siapa pun.
Israel tidak hanya menyerang warga sipil, tetapi juga mereka yang secara internasional dilindungi hukum perang. Paramedis dari Bulan Sabit Merah Palestina dibantai saat merespons panggilan darurat. Satu-satunya yang selamat dari tim medis tersebut, Monther Abed, menyaksikan teman-temannya ditembak dan dikubur hidup-hidup bersama ambulans mereka. Tentara Israel bahkan menggunakan buldoser untuk menimbun kendaraan dan jasad para petugas medis.
Jurnalis pun tak luput dari haus darahnya Israel. Ahmed Mansour, jurnalis Palestina, terbakar hidup-hidup dalam serangan udara Israel. Sempat dirawat karena dinyatakan kritis, namun pada akhirnya ia kini termasuk dalam 210 jurnalis yang dibunuh Israel di Gaza sejak Oktober 2023. Mereka yang seharusnya menjadi mata dunia kini menjadi korban bisu dari kekerasan sistematis.
Laporan dari kelompok Israel sendiri, Breaking the Silence, mengungkap praktik kejahatan perang yang dilakukan tentara mereka. Dari penembakan acak, penghancuran fasilitas sipil, hingga eksekusi terhadap warga tak bersenjata. Ini bukan perang, ini adalah pembantaian yang dibungkus oleh legitimasi politik dan propaganda global.
Korban terus berjatuhan bukan karena ketidaksengajaan, melainkan karena kesengajaan. Karena dalam logika kekuasaan Israel, tidak ada orang tak berdosa di Gaza. Semua bisa dibunuh, semua bisa dianggap ancaman, bahkan bayi yang baru lahir sekalipun.
Dan seperti semua yang lahir dari keserakahan, tidak pernah ada kata cukup. Tanah yang direbut, nyawa yang direnggut, dan martabat yang diinjak belum mampu memuaskan nafsu gluttoni Israel. Penjajahan ini bukan sekadar konflik, melainkan cermin dari kerakusan manusia yang menjadikan genosida sebagai proyek politik.
Saking Serakahnya, Tak Sadar Memakan Diri Sendiri
Namun sejarah selalu adil. Apa yang ditanam Israel hari ini, akan dituai pula oleh bangsa mereka sendiri. Benjamin Netanyahu, yang kini memimpin genosida ini, justru tengah berada dalam pusaran skandal korupsi pembelian kapal selam Jerman senilai miliaran dolar. Skandal ini bukan sekadar kasus hukum, melainkan gambaran nyata dari kerakusan penguasa yang menggadaikan keamanan rakyatnya demi keuntungan pribadi.
Tak hanya itu, untuk mempertahankan kekuasaannya, Netanyahu bahkan mengubah konstitusi negaranya dengan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung, menimbulkan gelombang protes besar-besaran di dalam negeri. Reformasi ini memecah belah rakyat Israel, membebani sistem hukum, dan membuka jalan bagi otoritarianisme.
Sementara itu, kekuatan ekonomi Israel kian terkikis. Jumlah bom yang dijatuhkan di Gaza kini melampaui total bom yang dijatuhkan pada Perang Dunia II, menurut laporan Anadolu Agency. Jutaan dolar dikeluarkan setiap harinya hanya untuk membumihanguskan wilayah yang sudah porak poranda. Biaya operasi militer ini diperkirakan telah mencapai lebih dari $50 miliar, dan menyebabkan defisit ekonomi yang membengkak.
Beban itu tidak hanya ditanggung oleh pemerintah, tetapi juga oleh rakyat Israel sendiri. Harga-harga melambung, cadangan nasional menyusut, dan sektor industri lumpuh karena tenaga dan sumber daya dialihkan untuk perang. Padahal, sebagian besar bom yang mereka jatuhkan hanya menewaskan warga sipil.
Yang lebih menyedihkan, tekanan moral dan trauma justru dirasakan oleh tentaranya sendiri. Lebih dari 1.000 prajurit cadangan Israel menandatangani petisi menolak kembali ke Gaza, menyerukan diakhirinya perang yang tak manusiawi ini. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana kekerasan yang mereka lakukan melahirkan kehancuran batin dan moral.
Setelah semua itu, Netanyahu kembali tampil ke publik dengan wajah penuh kebencian, lalu berkata, “Ini baru permulaan.” Sebuah pernyataan yang mengukuhkan bahwa genosida ini bukan karena keterpaksaan, melainkan pilihan sadar dari seorang pemimpin yang telah kehilangan rasa malu.
Yang lebih mengerikan dari kejahatan adalah ketika pelakunya tidak merasa bersalah. Dalam dokumenter Our Land: Israel’s Other War, seorang pemukim ilegal Israel bernama Yair mengatakan bahwa ia “tidak percaya ada orang tak berdosa di Gaza”. Saat ditanya soal anak-anak yang terbunuh, ia menjawab enteng: “Haruskah saya menunggu sampai mereka besar dan menembak saya?”
Ini bukan sekadar kegilaan individu, melainkan mentalitas kolektif yang dibentuk sejak dini. Anak-anak Israel tampak bersorak melihat bom dijatuhkan ke Gaza, seperti anak-anak menunggu bis telolet. Sebuah pemandangan yang mengubah rasa sakit menjadi hiburan, dan menjadikan kekejaman sebagai tontonan yang menggembirakan.
Di bawah logika semacam ini, genosida bukan lagi kejahatan, melainkan instrumen politik dan alat pemuas rasa haus darah yang dibentuk oleh propaganda. Tak ada ruang untuk empati karena mereka sudah diajari bahwa seluruh warga Gaza adalah ancaman sejak mereka lahir.
Kita tidak bisa berharap belas kasih dari mereka yang menganggap seluruh wilayah Palestina sebagai lahan kosong yang bisa ditanami pemukim ilegal. Tak ada ruang kompromi ketika pelaku genosida percaya bahwa mereka adalah korban.
Di sinilah dunia berada: di hadapan wajah telanjang dari kerakusan manusia yang tidak tahu malu, tidak tahu cukup, dan tidak tahu batas. Tapi diam bukanlah pilihan.
Jika ada satu hal yang masih bisa kita lakukan, maka itu adalah tidak diam. Bersuaralah. Tulis, rekam, bagikan. Jangan biarkan mereka menemukan pembenaran atas genosida yang mereka lakukan dengan dalih keamanan.
Setiap suara kita adalah saksi sejarah. Setiap narasi kita adalah penyangkalan terhadap dusta mereka.
Bantulah dunia melihat bahwa ini bukan perang, ini adalah penjajahan.
Dan satu-satunya jalan untuk melawan kejahatan seperti ini adalah dengan tidak pernah berhenti melawan.