Damai Aqsha – Kecewa karena makanan telat datang? Wajar. Kecewa karena bisnis rugi? Wajar. Kalau buat anak sekolah, dilarang jualan di sekolah, wajar. Pun ketika anak-anak sekolah kecewa karena pas field trip ke kebun binatang, ternyata harimaunya berganti kucing. Wajar kecewa. Menjijikannya anak sekolah Israel, kecewa karena di saat field trip-nya tak mendapati pemboman di Gaza.
Seorang content creator Instagram dengan nama akun @luciuxness memapakarkan realita tersebut. Ia mengatakan, “Menjijikan! Dalam sebuah field trip yang di dalamnya, anak-anak dapat menyaksikan pembantaian di Gaza. Field trip tersebut dilaksanakan berselang hanya 24 jam setelah serangan brutal (penjajah Israel) di Beit Lahiya yang mengakibatkan terbunuhnya 74 orang, termasuk anak-anak di dalamnya,” terangnya.
Artinya, anak-anak sekolah penjajah Israel itu antusias dengan pemboman Gaza. Sebagai gambaran, mungkin mirip dengan antusias anak-anak yang mendengar bus “telolet”, lalu saking antusiasnya, mereka berlari ke pinggir jalan demi menyaksikan bus telolet yang mereka gandrungi.
Sang kreator kemudian melanjutkan, bahkan anak-anak sekolah penjajah Israel itu rela membayar binokular (teropong) agar dapat melihat pemboman lebih baik lagi. Setelah itu, jika mereka ternyata tak ada pemboman sama sekali. “Mereka berpikir jika menyaksikan genosida ini adalah hiburan dan sarana untuk bersenang-senang, dan (cara pandang tersebut) mendarah daging dalam sistem pendidikan mereka,” pungkasnya.
Bagaimana bisa anak-anak usia sekolah memiliki paradigma seperti itu kecuali mereka memiliki konsep diri kalau mereka adalah makhluk yang paling mulia, sedangkan manusia lainnya (maaf) tak lebih dari binatang yang layak diperlakukan dengan hina. Melihat pembantaian layaknya melihat pertunjukan sirkus atau pertunjukkan bus telolet. Saking antusiasnya dan merindukannya, mereka sampai kecewa ketika tak menemukannya.
Dalam KBBI, kecewa artinya perasaan tidak puas sebab keinginan atau harapan tidak terwujudkan. Pertanyaanya, “Kok bisa, anak-anak sekolah di Israel berharap dapat melihat kekejaman atau pemboman?”. Bagaimana cara pandang mereka sehingga menganggap pemboman pada manusia, tentunya dengan darah, potongan daging manusia, nampak layaknya hiburan?”
“Tidak Mengherankan”
Aktivis Kemanusiaan Palestina asal Kanada, Rifat Audeh menyampaikan pendapatnya soal perndapat tersebut. Dalam judulnya, ia menulis, “Tidak mengherankan anak-anak (penjajah) Israel merayakan genosida di Gaza”. Ia memulai pembahasannya dengan mengingatkan kita pada video kontroversi yang menampilkan anak-anak yang bernyanyi dengan bahasa Ibrani, yang isinya kurang lebih menyampaikan soal “visi” pembantaian di Gaza.
Video tersebut dibuat oleh seorang penyiar ormas penjajah Israel bernama Kan. Ia kemudian menyebarkannya di akun official X miliknya pada November tahun lalu (2023). Namun, beberapa saat kemudian, yang bersangkutan menghapusnya setelah mendapatkan serangan massif pada kontennya secara daring. Meski diam-diam ia menghapusnya, diskusi di Internet terlanjur berlangsung karena kontroversinya.
Dalam diskusi tersebut, orang-orang di seluruh dunia merasa heran melihat anak-anak bernyanyi dengan riang gembira soal penghapusan sebuah bangsa dalam waktu setahun.
Rupanya, ia menemukan, berdasarkan literatur dan kurikulum Israel, “perayaan genosida” secara terbuka ini merupakan “hasil alami”. Perilaku tersebut merupakan hasil indoktrinasi terus-menerus atau lebih tepatnya, cuci otak sehingga mereka memandang masyarakat Palestina sebagai manusia dan sepenuhnya menerima penjajahan dan perilaku apartheid. “Ada banyak sekali bukti mengenai pencucian otak yang dilakukan (pemerintah penjajahan) Israel pada warga negaranya yang berlangsung selama beberapa dekade.
Kredit: Maya Levin untuk NPR
Sarjana ahli ke-Isael-an Adir Cohen misalnya. Ia menganalisis sekitar 1.700 buku anak-anak berbahasa Ibrani yang diterbitkan (penjajah) Israel antara tahun 1966 dan 1985 sebagai bahan untuk bukunya yang berjudul “An Ugly Face in the Mirror – National Stereotypes in Hebrew Children’s Literature”. Ia menemukan, 520 di ataranya mengandung deskripsi negatif yang memalukan soal orang Palestina. Ia mengungkap, dari 520 buku tersebut, 66 persen menyebut orang arab sebagai orang yang kejam, 52 persen sebagai orang jahat, 37 persen sebagai pembohong, 31 persen sebagai orang yang tamak, 28 persen sebagai orang yang munafik, dan 27 persen mengatakan orang Arab pengkhianat.
Bukti lainnya diungkapkan oleh kritikus sastra dan akademisi Palestina terkemuka, Edward Said. Dalam bukunya yang terbit tahun 1979, “The Question of Palestine”. Ia mencatat, literatur anak-anak Israel selalu menempatkan orang-orang Israel sebagai sosok yang gagah berani dan selalu berakhir dengan membunuh orang-orang Arab yang hina dan pengkhianat. Tokoh-tokoh karakter Arab dalam buku-bukunya pun diberi nama yang buruk, seperti Mastoul (gila), Bandura (tomat), atau Bukra (besok).
Selain itu, selain mengenalkan propaganda “kejahatan Nazi” ke seluruh dunia, pemerintah Israel juga, secara konsisten menggunakan memori menyakitkan “Holocaust” untuk menghilangkan kepekaan anak-anak terhadap penderitaan warga Palestina. Dalam bukunya yang terbit pada 1999, “One Nation Under Israel”, sejarawan Andrew Hurley menjelaskan bagaimana Israel mempersenjatai pendidikan Holocaust sebagai landasan membantai Palestina.
“Tak mungkin, pikiran seorang anak (atau siapa pun) dapat menyerap kengerian Holocaust tanpa menemukan seseorang untuk dibenci,” kata Hurley. “Untuk itu, karena tidak ada Nazi di sekitar yang dapat dijadikan objek balas dendam, Mantan Perdana Menteri Israel: (Menachem) Begin, (Yitzhak) Shamir dan (Ariel) Sharon menjadikan orang-orang Arab sebagai sasaran dengan menyebut mereka sebagai Nazi masa kini dan target yang tepat untuk pembalasan.”
Selanjutnya, temuan Profesor Israel Meytal Nasie menguatkan pandangan Hurley soal konsekuensi dari pengajaran Holocaust. Dalam studinya tahun 2016 berjudul “Young Children’s Experiences and Learning in Intractable Conflicts”, ia menemukan 68 persen anak-anak Israel menyarankan “memukul”, “membunuh”, atau “mengusir” orang-orang Arab sebagai solusi (agar tidak terjadi lagi Holocaust). Nasie menyatakan, penanaman keyakinan ini pada usia dini dengan intens berujung pada penanaman narasi soal konflik jauh di dalam repertoar sosio-psikologis anak-anak.
Masih banyak bukti yang mendukung alasan di balik “kita tidak perlu terkejut melihat anak-anak Israel mantusias pemboman atas masyarakat Palestina seantusias nontonin bis telolet dan betapa kecewanya mereka saat mereka tak menemukan pemboman di lokasi khusus menonton genosida dalam study tour mereka.