Damai Aqsha – Anak-anak Palestina hari ini berdiri dalam antrean bantuan makanan di Gaza—bukan untuk memilih menu, tapi untuk bertahan hidup. Sebagian dari mereka ditembaki tentara entitas Zionis di tengah antrean. Beberapa lainnya mati kelaparan sebelum giliran tiba. Sementara itu, di kota-kota jauh dari perang, antrean di drive-thru McDonald’s kembali ramai. Cangkir-cangkir Nescafe kembali mengepul. Seolah yang terjadi di Palestina hanya mimpi buruk yang telah usai. Padahal darahnya belum kering.
Sebagian orang mulai lelah. Wajar. Mereka yang sejak awal konsisten memposting, berdonasi, memboikot, menghadiri aksi jalanan, kini merasa seperti memukul tembok. Apalagi ketika gencatan senjata dilanggar lagi, atau saat pemerintah-pemerintah besar tetap bungkam. Seolah tak berdaya, tanpa ada satu ucapanpun yang dapat menjelaskan. Banyak yang diam-diam bertanya: apa gunanya semua ini?
Lelah itu nyata. Bukan hanya fisik, tapi juga batin. Dalam psikologi sosial, ini disebut activism fatigue—kelelahan emosional akibat terlibat dalam perjuangan berkepanjangan yang terasa tak kunjung berhasil. Kita merasa bersalah saat ingin berhenti, tapi juga frustasi saat terus melakukannya tanpa hasil.
Namun, di titik inilah, justru nilai perjuangan diuji. Perjuangan yang hanya bertahan ketika sedang “viral”, bukanlah perjuangan. Ia hanya gema. Sedangkan dukungan yang tetap menyala saat tak ada lagi panggung—itulah tanda kesetiaan. Seperti halnya para sahabat Nabi yang berhadapan dengan Musyrikin Quraisy di medan Khandaq selama berminggu-minggu, tanpa tahu kapan harus berakhir, sementara udara dingin menusuk perut-perut yang kelaparan.
Gerakan sipil untuk Palestina kini sedang berada di titik kritis. Di satu sisi, dunia digital telah memberi kita ruang untuk bersuara. Namun, di sisi lain, upaya tersebut rupanya tak mampu menghentikan kebrutalan tentara entitas Zionis, bahkan mereka makin brutal dan makin terang-terangan seperti mengolok-ngolok.
Fakta di lapangan memang mengecewakan. Diplomasi tak mampu menutupi haus darah mantan pengungsi tak tahu diri. Israel berkali-kali melanggar gencatan senjata. Dunia tetap sibuk dengan KTT dan pernyataan lunak. Saat para aktivis global memulai long march ke Gaza dengan harapan pemimpin dunia tersentak, tak ada yang berubah. Warga yang ditangkap tak membuat kepala negara bereaksi.
Namun, jangan anggap semua itu sia-sia. Long march itu bukan kegagalan, tapi bentuk sumud—keteguhan sipil. Ia menunjukkan bahwa meski dunia politik mandek, nurani manusia belum mati. Ia adalah pesan tanpa kata: jika kalian yang berkuasa diam, maka rakyat akan berjalan. Dan dalam sejarah, kadang langkah kaki lebih kuat daripada palu veto.
Kita juga melihat gelombang boikot merebak. MUI, NU, Muhammadiyah, dan jutaan masyarakat mendukung boikot produk yang berafiliasi dengan agresor. Survei Inventure Februari 2025 menunjukkan 89% muslim Indonesia siap mengganti produk global dengan merek lokal Islami. Ini bukan angka kecil. Ini kesadaran kolektif.
Namun kini, tanda-tanda kejenuhan mulai terlihat. Produk-produk yang dulu diboikot, mulai dikonsumsi lagi. Ini adalah momen berbahaya. Semangat bisa mati bukan karena serangan musuh, tapi karena luka tak lagi terasa seperti pengidap diabetes.
Ketika seseorang kembali membeli produk pro-Israel dengan alasan kenyamanan atau diskon, artinya dia sedang membuka “dispenser bensin” bagi tank-tank senjata pemusnah bayi. UNICEF menyebut lebih dari 18.000 anak Gaza dibunuh hingga tengah tahun ini. Kita tak bisa pura-pura netral. Uang belanja kita bisa jadi “bensin” bagi mesin pembunuh mereka.
Dari Kelelahan ke Keteguhan: Mengubah Letih Menjadi Iman Sipil
Apa yang kita lakukan dari balik layar mungkin tampak kecil. Satu postingan, satu donasi, satu aksi boikot. Namun, jangan remehkan kekuatan repetisi. Ibarat tetesan air ke atas batu, Perubahan besar dalam sejarah sering kali dimulai dari ketekunan yang tak dirasa. Dari orang-orang biasa yang tidak menyerah.
Ada yang bilang, “Kalau semua ini tidak membuahkan hasil, untuk apa dilanjutkan?” Namun, logika ini hanya masuk akal jika kita mengukur perjuangan dengan hasil instan. Palestina bukan soal menang cepat, melainkan soal tidak tunduk. Soal menjaga martabat manusia agar tidak diinjak habis.
Kita tidak tahu apakah suara kita akan menghentikan perang. Namun, yang jelas, diam kita pasti memperpanjangnya. Kemudian, dalam kondisi seperti sekarang, yang paling dibutuhkan bukan hanya kecaman, tapi konsistensi. Bukan hanya semangat di awal, tapi napas panjang di tengah jalan yang mulai sepi.
Melihat Iran menyerang Israel, mungkin kamu sedikit terhibur. Mengapa? Bisa jadi karena kita akhirnya mendapatkan cara lain yang lebih greget. Memang, eskalasinya masih terus berkembang, namun setidaknya serangan Iran ke Israel membuka “kedok” kekuatan super entitas Israel dengan teknologi militernya. Setelah pejuang kemerdekaan mampu menembus hingga jantung Kota, kini rudal-rudal memporak-porandakan rumah sakit (baca bungker militer) Israel di Tel Aviv.
Boikot bukan hanya protes ekonomi. Ia adalah ekspresi moral. Ketika publik mulai kembali ke produk lama, kita perlu bicara. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan. Jangan biarkan algoritma membunuh empati kita. Jangan biarkan kenyamanan menenggelamkan nurani kita.
Bahkan jika yang kita lakukan terlihat kecil, itu tetap lebih baik daripada tidak sama sekali. Kita tidak menolong Palestina karena mereka pasti menang, tapi karena kita tidak ingin menjadi bagian dari penindasan. Dan jika kita tak bisa menjadi barisan depan, maka jadilah benteng belakang yang tak goyah.
Setiap gerakan tangan yang tak membeli, setiap mulut yang masih menyuarakan, setiap langkah yang menolak tunduk—adalah bagian dari perlawanan. Dan perlawanan sejati tak selalu teriakan di depan kamera, tapi keteguhan di saat tak ada yang melihat.
Jalan ini panjang. Mungkin akan lebih panjang dari usia kita. Namun, bukan hasil yang membuatnya mulia. Melainkan keberanian untuk tetap berjalan. Karena yang benar adalah tetap benar, meski tak berbuah esok hari.
Kepada yang mulai lelah: kamu tidak sendirian. Kelelahanmu adalah tanda bahwa kamu pernah peduli. Dan kepedulian itu belum mati. Ia hanya perlu rehat sejenak. Tapi jangan biarkan rehat berubah jadi mundur. Sebab jika semua diam, maka siapa lagi yang akan menjaga nyala?
Mendukung Palestina bukan tren, bukan kampanye. Ia adalah jalan hidup. Jalan yang sepi, sering diabaikan, tapi tetap harus ditempuh. Dan di jalan ini, setiap langkahmu—betapapun kecilnya—adalah bagian dari perlawanan yang tidak bisa dibatalkan.
Jadi, ketika lelah itu tiba, istirahatlah. Tarik napas. Tapi bangkit lagi. Karena dunia belum boleh terbiasa melihat anak-anak terbunuh dan menganggap itu wajar. Dan karena kamu, masih ada harapan itu belum padam.