• About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
Saturday, August 23, 2025
Damaiaqsha.com
  • Login
  • Register
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event
No Result
View All Result
Damaiaqsha.com
No Result
View All Result
Home Palestina

Ketika Bom Menyasar Rumah Sang Penyelamat: Tragedi Keluarga Al-Najjar dan Runtuhnya Nurani Kemanusiaan

Kalau Anda berpikir, Israel hanya menyasar warga Gaza, ketahuilah di antara mereka ada wartawan, ada petugas medis, yang dilindungi hukum internasional, namun Israel tidak peduli

Damai Aqsha by Damai Aqsha
June 18, 2025
in Palestina
0
Ketika Bom Menyasar Rumah Sang Penyelamat: Tragedi Keluarga Al-Najjar dan Runtuhnya Nurani Kemanusiaan

Keluarga An Najjar, pasangan dokter yang keluarganya dibantao oleh Israel. Sumber: tribunnews.com

305
SHARES
2.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Damai Aqsha – Dr. Alaa al-Najjar, seorang dokter anak di Gaza selatan, tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari, ruang kerja yang penuh jeritan bocah luka akan bersambung langsung dengan jeritan pilu kehilangan anak-anaknya sendiri. Pada Jumat akhir Mei 2025, saat ia bertugas menyelamatkan anak-anak korban serangan udara di Rumah Sakit Nasser, sebuah rudal Israel menghantam rumahnya di Khan Younis (aljazeera.com). Dalam hitungan detik, sembilan dari sepuluh anaknya meninggal dunia. Ledakan itu tidak hanya menghancurkan dinding rumah, tetapi juga memporak-porandakan dinding batin seorang ibu yang juga seorang penyelamat.

Kehidupan profesional dan personalnya runtuh bersamaan. Saat ambulans membawa jenazah hangus ke IGD tempat ia bertugas, Alaa menyadari bahwa sebagian tubuh kecil yang tak bernyawa itu adalah anak-anaknya sendiri (theguardian.com). Suaminya, Dr. Hamdi al-Najjar, ditemukan dalam kondisi kritis dan akhirnya wafat beberapa hari kemudian (aljazeera.com). Hanya Adam, putra berusia sebelas tahun, yang bertahan—meski dengan luka bakar parah dan kehilangan tangan kirinya (theguardian.com). Tragedi ini mengguncang Gaza dan dunia: seorang ibu yang menyelamatkan nyawa anak-anak, kehilangan sembilan anaknya karena perang yang tak pernah ia minta.

Namun kisah ini bukan sekadar tragedi individu. Ini adalah potret sistemik dari brutalnya perang yang menjadikan warga sipil sebagai target. Rumah keluarga al-Najjar tidak pernah menjadi pos militan, tak ada senjata, tak ada perlawanan (newarab.com). Yang ada hanyalah keluarga dokter—simbol kemanusiaan—yang dibumihanguskan. Serangan ini mencerminkan pola yang telah terjadi berulang kali: satu rudal, satu keluarga, habis tak bersisa.

Gaza kini menjadi tempat di mana profesi mulia tak lagi memberikan perlindungan. WHO melaporkan ratusan serangan terhadap fasilitas kesehatan sejak Oktober 2023 (map.org.uk). Data dari Medical Aid for Palestinians menyebut lebih dari 1.400 tenaga medis tewas, menjadikan Gaza salah satu tempat paling mematikan bagi pekerja kemanusiaan di dunia hingga Mei 2025 (epinews.emphnet.net). Rumah sakit tak hanya menjadi tempat menyembuhkan luka, tetapi juga sasaran. Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina hancur pada awal 2024, disusul oleh Rumah Sakit Eropa Gaza yang terpaksa tutup pada Mei 2025 akibat serangan (map.org.uk).

Dalam kondisi ini, Dr. Alaa dan ribuan dokter lainnya terjebak dalam dilema moral harian: menyelamatkan nyawa atau menjaga keluarga. Ketika rumah dan rumah sakit sama-sama jadi target, ke mana lagi mereka bisa berlindung? Dilema ini meluluhlantakkan batas antara profesionalitas dan keberanian. Banyak tenaga medis yang memilih tetap tinggal, tetap merawat pasien meski sadar bahwa anak atau pasangan mereka bisa menjadi korban berikutnya. Mereka tidak hanya menjadi penyintas, tetapi juga saksi hidup atas runtuhnya penghormatan terhadap hukum perang.

Di tengah reruntuhan itu, trauma tidak hanya tinggal di tubuh yang terluka. Ia bersarang dalam jiwa. Dr. Alaa, selain harus menanggung duka mendalam, juga memikul beban merawat anak semata wayangnya, Adam, yang tersisa. Anak itu kehilangan hampir seluruh keluarga, dan kini menghadapi pemulihan fisik serta luka psikologis berat. Ketika Adam tersadar di ruang perawatan, ia memanggil nama adik-adiknya satu per satu. Sang ibu hanya mampu menjawab bahwa mereka kini berada di surga (aljazeera.com). Sebuah kalimat sederhana yang memerlukan kekuatan luar biasa untuk diucapkan oleh seorang ibu yang baru saja kehilangan segalanya.

Luka-luka ini tidak kasatmata, tapi mencabik jiwa. PTSD, rasa bersalah sebagai ibu, bahkan kekosongan identitas, mengintai di balik senyum getir yang sesekali terpaksa dipaksakan. Sebagai dokter anak, Alaa kini harus kembali menatap wajah-wajah mungil yang luka, sembari menahan gemuruh ingatan tentang wajah anak-anaknya sendiri (amnesty.org.au). Ketika ruang gawat darurat berubah menjadi ruang duka pribadi, bagaimana seseorang tetap menjalankan profesi dengan utuh?

Kekejaman Sistemik dan Kewajiban Kita Menolak Diam

Foto dokter Alaa An Najjar yang kehilangan 9 dari 10 anaknya, dan juga suaminya yang juga seorang dokter. Sumber: mingguan wanita

Kisah keluarga al-Najjar tidak terjadi di ruang hampa. Ia adalah satu fragmen dari pola yang lebih besar—pola serangan terhadap warga sipil dan tenaga medis yang semakin terang-terangan. Amnesty International menyebutkan bahwa taktik Israel di Gaza melanggar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi dalam hukum perang (amnesty.org). Banyak serangan dilancarkan ke kawasan padat tanpa peringatan memadai. Rumah, sekolah, bahkan tempat ibadah menjadi target. Dalam konteks ini, rumah keluarga dokter pun tidak luput (aljazeera.com).

Otoritas Gaza mencatat lebih dari 53.000 warga Palestina tewas sejak Oktober 2023, separuhnya adalah perempuan dan anak-anak (newarab.com). Lebih dari 16.000 anak meninggal, dan sekitar 34.000 lainnya luka-luka. UNICEF menyatakan bahwa Gaza kini menjadi wilayah dengan kematian anak tertinggi akibat konflik bersenjata dalam sejarah modern (aljazeera.com). PBB dan lembaga internasional lainnya menyebut serangan-serangan ini sebagai bentuk penghukuman kolektif. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, bahkan menyebutnya sebagai fase baru genosida (aljazeera.com).

Lebih memilukan lagi, banyak pelanggaran ini tidak diikuti mekanisme akuntabilitas. Israel berkali-kali berdalih bahwa target mereka adalah militan, tetapi bukti-bukti lapangan kerap menunjukkan sebaliknya (newarab.com). Dalam kasus keluarga al-Najjar, tidak ada indikasi bahwa rumah tersebut digunakan untuk aktivitas militer (aljazeera.com). Bahkan menurut saksi, rumah itu baru saja dihuni kembali setelah sang ayah mengantar istrinya ke rumah sakit. Ini bukan pengecualian, tetapi bagian dari pola yang telah lama terjadi: satu rudal, satu keluarga, satu liang lahat.

Ketika impunitas menjadi norma, maka pembiaran adalah bentuk keterlibatan. Dunia internasional harus lebih dari sekadar mengecam. Mahkamah Pidana Internasional mesti menindaklanjuti bukti-bukti lapangan dan memberikan keadilan bagi para korban (amnesty.org). Jika tidak, tragedi semacam ini akan terus berulang. Gaza tidak butuh belas kasihan kosong, tetapi sistem keadilan yang menegakkan nilai kemanusiaan tanpa standar ganda.

Di tengah reruntuhan Gaza, spiritualitas menjadi satu-satunya tempat berteduh yang tersisa. Dr. Alaa, dalam wawancaranya, berkata lirih bahwa jika Allah mengizinkan ini terjadi, pasti ada alasan (theguardian.com). Sebuah kalimat pasrah yang tak dapat dimaknai secara dangkal. Iman telah menjadi pelampung terakhir bagi banyak ibu Gaza—meyakini bahwa anak-anak mereka kini berada di surga, menanti mereka dengan senyum tak tercemar oleh bom. Dalam Islam, anak-anak yang mati syahid adalah pembuka pintu surga bagi orang tuanya. Keyakinan inilah yang menyelamatkan jiwa dari tenggelam dalam keputusasaan total.

Solidaritas pun menjadi kekuatan lain yang tak bisa diremehkan. Ribuan doa dari berbagai penjuru dunia dipanjatkan untuk keluarga al-Najjar. Bantuan pun mengalir, termasuk dari Pemerintah Italia yang akhirnya mengevakuasi Dr. Alaa dan Adam ke Milan untuk perawatan (theguardian.com). Di bandara Milan, Adam memegang bola sepak yang diberikan Menteri Luar Negeri Italia. Tangannya tinggal satu, tapi semangatnya belum pupus. Ia berkata ingin tinggal di tempat yang indah—tempat tanpa bom, tanpa suara sirene, tanpa duka (aljazeera.com). Sebuah impian sederhana yang seharusnya tidak perlu diperjuangkan dengan darah.

Bagi kita yang hidup jauh dari medan perang, kisah ini mestinya menggugah lebih dari sekadar air mata. Ia menuntut kita untuk bersikap: apakah kita akan terus membiarkan tragedi ini berlalu sebagai berita yang datang dan pergi, ataukah kita akan menjadi bagian dari suara dunia yang menolak lupa? Gaza bukan hanya soal geopolitik, tapi soal kemanusiaan yang dilucuti secara sistemik. Ketika dokter anak pun kehilangan anak-anaknya karena bom, maka dunia telah kehilangan batas nurani.

Kita mungkin tidak dapat menghentikan perang hari ini. Namun kita bisa menolak menjadi bagian dari diam yang mematikan. Kita bisa bersuara, berdonasi, menyebarkan informasi yang benar, mendesak pemimpin untuk bersikap, dan mendoakan dengan sepenuh hati. Dan dalam setiap langkah itu, kita menghidupkan kembali kemanusiaan yang nyaris terkubur di bawah reruntuhan Khan Younis. Dr. Alaa telah kehilangan hampir segalanya, tetapi ia telah memberikan pada kita satu hal yang tak ternilai: kesaksian. Kini tugas kita menjadikannya gema yang tak pernah padam.

 

Tags: DokterGazaIsraelpalestinaProfesional
Previous Post

Ketika Al-Qur’an Menjadi Satu-satunya Hiburan

Next Post

Ketika Anak Pelestina Ditembaki Saat Mengantri Makanan, Di Sini Sudah Ada Yang Mengantri Membeli Nescafe

Next Post
Ketika Anak Pelestina Ditembaki Saat Mengantri Makanan, Di Sini Sudah Ada Yang Mengantri Membeli Nescafe

Ketika Anak Pelestina Ditembaki Saat Mengantri Makanan, Di Sini Sudah Ada Yang Mengantri Membeli Nescafe

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Recommended

Intifada, Gerakan Perlawanan Rakyat Palestina Melawan Israel

Intifada, Gerakan Perlawanan Rakyat Palestina Melawan Israel

September 28, 2020
Tidak Heran Anak-anak Israel Antusias Melihat Genosida di Palestina: Seantusias Anak-anak Indonesia Menunggu Bis Telolet

Tidak Heran Anak-anak Israel Antusias Melihat Genosida di Palestina: Seantusias Anak-anak Indonesia Menunggu Bis Telolet

January 1, 2025

Popular Post

  • Pelajaran Berharga Bagi Kita dari Anak-Anak Palestina

    352 shares
    Share 141 Tweet 88
  • Reruntuhan, Darah, dan Duka: Idul Adha di Gaza 2025

    307 shares
    Share 123 Tweet 77
  • Israel Menjajah Indonesia dengan Judi

    313 shares
    Share 125 Tweet 78
  • Sejarah Baitul Maqdis Tempat Ibadah Tiga Agama Dari Masa ke Masa

    316 shares
    Share 126 Tweet 79
  • Viral Anak-Anak SMP Bilang “Makan Daging Anak Palestina”, Apa Peran Kita Sebagai Orangtua untuk Edukasi Tentang Palestina?

    315 shares
    Share 126 Tweet 79
Damaiaqsha.com

© 2024 damaiaqsha.com

Navigate Site

  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact

Follow Us

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Donasi
  • Program
  • News
  • Laporan
  • About
    • Profile Damaiaqsha
    • Struktur
    • Legal Formal
  • Event

© 2024 damaiaqsha.com